Bagi peminat atau penggila buku, datang ke toko buku ibarat sedang berekrasi ke puncak gunung atau ke tepi pantai, ada kesan yang selalu bisa dibawa pulang sampai ke rumah selain dengan membeli buku. Toko buku semakin banyak, maka semakin banyak pilihan buku yang diinginkan. Berkunjung ke toko buku menjadi gaya hidup orang modern yang menjadikannya tempat rekreasi fisik dan batin. Penjual buku menjamur dari kelas kaki lima hingga mall, dari lapak pinggir jalan hingga toko buku online, dari toko seadanya hingga ruang megah berpendingin, dari toko buku yang menjual semua kategori umum hingga toko buku spesifik yang menjual tema tertentu. Sehingga toko buku menjadi tempat terbaik membuang waktu!.
Bagi peminat atau penggila buku, datang ke toko buku ibarat sedang berekrasi ke puncak gunung atau ke tepi pantai, ada kesan yang selalu bisa dibawa pulang sampai ke rumah selain dengan membeli buku. Toko buku semakin banyak, maka semakin banyak pilihan buku yang diinginkan. Berkunjung ke toko buku menjadi gaya hidup orang modern yang menjadikannya tempat rekreasi fisik dan batin. Penjual buku menjamur dari kelas kaki lima hingga mall, dari lapak pinggir jalan hingga toko buku online, dari toko seadanya hingga ruang megah berpendingin, dari toko buku yang menjual semua kategori umum hingga toko buku spesifik yang menjual tema tertentu. Sehingga toko buku menjadi tempat terbaik membuang waktu!.
Sejenak saya lama mengamati sebuah lukisan di selasar ruang Pameran Seni
Rupa Temu Karya Taman Budaya Nasional yang berlangsung di Kupang 9-12 September
2015 yang lalu dan mengambil tema Untaian
Sotis. Satu di antara sekian lukisan di pameran itu yang memperlihatkan
daya pikat esensi non visual dari sebuah lukisan dengan media 100cm x 100cm Geradus Louis Fori berjudul Hawa.
Kota Kupang, sama
halnya dengan berbagai kota di nusantara, berkembang dengan berbagai aktivitas
ekonominya. Berbagai macam profesi atau pekerjaan hadir untuk mengadu nasib,
untuk bisa menikmati hasil dari pertumbuhan ekonomi kota. Dari penjual asongan
hingga pedagang keliling, dari warung makanan hingga kios sembako. Pekerjaan
non formal ini menyerap banyak tenga kerja dan merupakan usaha dari kelangan
masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Kini beberapa diantaranya
berangsur-angsur menepi, bahkan menghilang dan tak muncul lagi untuk selama-lamamnya.
Telah terjadi pergeseran prilaku ekonomi yang membuat profesi mereka tidak
dibutuhkan lagi. Catatan ini untuk mengenang keberadaan mereka di masa lalu di sekitaran
tahun 1990-an hingga awal tahun 2000-an di Kota Kupang. Mereka diantaranya:
Langganan:
Postingan (Atom)
My Facebook
Catatan....!!!
Menulis bukan bakat, tetapi kemauan. Dalam kisah setiap orang pasti akan menuliskan apa ada yang ada di pikiran dan perasaannya.. Secara perlahan menulis mengantarkan seseorang menuju pencerahan, karena menulis membuat orang membaca dan sebaliknya membaca membuat orang menulis. Menulis merupakan pembelajaran, dan tidak hanya sekumpulan kalimat tetapi merupakan sekumpulan nilai dan makna. Kini cara menulis tidak lagi menggunakan pahat dan batu, tongkat dan pasir atau dengan kemajuan teknologi tidak lagi dengan tinta dan kertas tetapi sudah beranjak pada keyboard dan screen. Banyak kisah dan sejarah masa lalu yang tidak terungkap, karena tak ada yang mencatatnya atau bahkan lupa untuk mencatatnya. Mengutip kalimat singkat milik Pramoedya Anantatoer, “hidup ini singkat, kita fana, maka aku akan selalu mencatatnya! Agar kelak abadi di kemudian hari…” Catatan adalah sebuah kesaksian dan kadang juga menjadi sebuah pembelaan diri. Seseorang pernah memberiku sebuah diary, dengan sebuah catatan yang terselip. Kelak aku akan mengembalikannya dalam keadaan kosong karena aku telah mencatatnya di sini….!!!