![]() |
Photo: http://aikon2.com/hub/wp-content |
Jika peradaban Mesir kuno dan Romawi banyak tertulis di atas daun papirus (tumbuhan sejenis alang-alang), maka dalam kisah peradaban historis nusantara banyak di peroleh dari tulisan-tulisan pada daun lontar (borassus sundaicus) yang berasal dari beberapa wilayah seperti Jawa dan Sulawesi. Namun dalam sejarah peradaban Timor tidak mengenal adanya tulisan, bahkan di Nusa Tenggara Timur hanya di Kabupaten Ende yang memiliki aksara, dinamakan aksara lota yang merupakan turunan dari aksara Bugis atau aksara lontarak yang masuk ke Ende sekitar abad ke-16, kedua aksara ini di tulis diatas daun lontar, lembar demi lembar yang diikat menjadi satu. Sedangkan kebudayaan Timor lebih banyak menggunakan budaya lisan yang dituturkan dalam upacara-upacara adat. Dalam pergelaran upacara tersebut dituturkan kisah-kisah para leluhur, silsilah keturunan, peristiwa besar apa yang pernah terjadi dan lain sebagainya. Budaya bahasa lisan ini dapat bertahan karena pola regenerasi dalam masyarakat adat.
Jadi bagaimana sesungguhnya kebudayaan lontar bagi masyarakat Kota Kupang. Hal ini dapat ditelusuri dari keberadaan dua suku besar yang ada di Kupang yaitu Suku Sabu dan Suku Rote. Pohon lontar menjadi pohon kehidupan dalam pandangan tradisional kedua masyarakat ini, mulai dari lahir hingga meninggal, dari kebutuhan hidup hingga seni. Sehingga butuh pembahasan tersendiri untuk melihat kebudayaan lontar di Kota Kupang ini. Sederhananya bahwa hampir seluruh bagian dari pohon lontar bermanfaat bagi kebutuhan manusia seperti tuak atau nira, batang pohon lontar hingga dahan. Tak terkecuali daun lontar yang banyak digunakan sebagai gelas kecil (haik), anyaman-anyaman, topi (ti’i langga) hingga alat musik warisan dunia sasando berasal dari daun pohon lontar ini. Begitu kuatnya daun lontar hingga seorang naturalis asal Inggris Alfred Russel Wallace, dalam persinggahannya di Kota Kupang tahun 1857, sempat terkagum-kagum melihat daun lontar yang dapat dijadikan ember yang kuat untuk wadah menampung air dan di bawa berjalan. Kini kita masih dapat melihat penjual tuak berkeliling kota menjajakan tuak manis khas Kupang dengan menggunakan ember dari daun lontar. Jajanan tuak manis keliling biasanya ada pada awal dan akhir musim panas.
Berangkat dari sepenggal cerita di atas, maka terdapat filosofi dari daun lontar yang telah menjadi simbol kebudayaan dan peradaban. Bahwa kuatnya daun lontar dapat menyimpan tulisan para leluhur, dan lenturnya daun lontar dapat dijadikan sebagai wadah yang dapat menampung tuak pengetahuan. Tentunya gelas (haik) ini tidak dibiarkan penuh tetapi selalu dibiarkan kosong untuk dapat menampung pengetahuan sedikit demi sedikit.
©daonlontar.blogspot.com
Kupang, 29 November 2011