Photo: Arno Burgi - "Ich liebe
Dich" – Botschaft
Dalam sebuah film Jerman yang saya
tonton, seorang perempuan mengucapkan “ich liebe dich” dengan tegas dan
mengingatkan saya pada berbagai bahasa dunia, tentang bagaimana mengungkapkan
perasaan cinta. Sebuah perasaan manusia yang sangat manusiawi, yang menghantarkan
setiap orang pada kesempurnaan tentang hidup!. Kadang orang mengatakan bahwa
jatuh cinta adalah bentuk kegilaan yang dapat diterima. Perasaan cinta tak
mengenal batas dan zaman, yang seringkali terdefenisikan dalam semua hal, pada
semua entitas yang kita gerakan atau kita temukan sehari-hari.
Sebelum diketemukan bahasa, entah
bagaimana cara orang menyampaikan rasa cinta secara verbal. Mungkin menggunakan
isyarat tubuh atau simbol-simbol tertentu, sebagai cara mewujudkan perasaan
secara visual. Namun ketika segala sesuatu sudah bisa diungkapkan dalam bahasa
yang terdiri dari kata-kata yang dirangkai menjadi kalimat lalu membentuk arti,
dan kemudian diserap dalam berbagai bahasa berbeda dengan arti yang universal.
Cinta memastikan bahwa peradaban manusia terus berlanjut. Jika bahasa
diperkirakan mulai digunakan 35.000 SM, maka bisa dihitung begitu banyak bahasa
dan kalimat yang telah, sedang dan akan diutarakan untuk mengungkapkan perasaan
yang satu ini.
Cinta sesungguhnya dapat menenangkan
dunia, dunia yang diisi orang perorangan, namun cinta kadang menemukan tembok
besar yang membuat cinta tak selalu mendapatkan tiket kesempurnaan, selalu ada
tuntutan pengorbanan yang kadang harus dibayar dengan mahal. Tidak semua kata
cinta yang terucap berbalas, yang sering dinarasikan oleh para pujangga dengan
“bertepuk sebelah tangan”, cinta yang tidak bersambut. Cinta memang menjanjikan
kebahagiaan bagi mereka-mereka yang bersabar dan yakin bahwa cinta akan
menemukan kedudukan yang tepat, tanpa perlu berebutan tempat pada ranah-ranah
yang akan kadaluarsa oleh waktu, karena cinta itu abadi dan sejati.
Photo:
http://iamheelsoverhead.tumblr.com
Lalu bagaimana dengan perasaan cinta
itu sendiri, yang katanya adalah reaksi kimia bukan sebagai reaksi biologis.
Kadang orang salah menerjemahkan bahwa cinta hanya sekedar naluri untuk
meledakkan nafsu sebagai konsekuensi dari pemenuhan kebutuhan fisiologis, tidak
benar demikian. Cinta juga tidak bersifat layaknya materi, cinta tidak pernah
terurai dan membentuk cinta-cinta yang baru. Bahwa cinta semacam kisah yang
abadi yang tetap adanya, ibarat jiwa yang abadi tanpa pernah sekalipun
membentuk jiwa-jiwa yang baru. Bahwa setiap kata cinta yang pernah terucap akan
terekam oleh semesta, dan tersimpan dalam labirin yang tak mengenal ruang dan
waktu, walaupun kata cinta itu tak pernah “bertepuk dua tangah”.
Kembali dalam soal membahasakan
perasaan cinta, tak butuh kalimat panjang untuk menjelaskan perasaan cinta,
hanya dibutuhkan kalimat singkat. Dalam Bahasa Indonesia, untuk membahasakan
perasaan kesukaan pada seseorang maka digunakan “aku cinta kamu” atau “ich
liebe dich” (Jerman), sebanding dengan “ik hou van jou” (Belanda), setara “jet
t’aime” (Prancis), sebanding “wo ai ni (Cina Mandarin), dipersamakan dengan “ti
amo” (Italia), sama juga “aishiteru” (Jepang), seturut “jag alskar dig”
(Swedia) dan kemudian banyak yang lebih merujuk pada “i love you” (Inggris) sebagai bahasa populer
terbesar kedua yang dipakai dunia. Namun banyak pihak yang menisbatkan bahasa
prancis sebagai bahasa paling romantis di dunia, sehingga “jet t’aime” begitu
romantis diucapkan dengan gaya ucap orang Prancis, karena orang Prancis
berbicara dengan bibir yang seolah “berbicara” juga. Sebenarnya masih ada
jawaban untuk setiap kata seru ini, tapi biarkanlah sidang pembaca yang mencari
sendiri di kamus, dan menjawab sesuai bahasa apa pernyataan itu terbit. Memang
membahasakan cinta tidak sederhana, dan juga tidak selamanya dapat terangkum
dalam catatan pendek ini!. (*)
Surabaya,
24 Mei 2014
©daonlontar.blogspot.com
©daonlontar.blogspot.com