Latar belakang novel
ini bercerita
tentang petualangan
Simonov Sinesky bersama Malaikat Jibrael mengunjungi sebuah institusi
kepolisian di negeri tak bernama. Kisah novel ini menguak perbuatan
polisi-polisi di negeri antah berantah yang tak lagi memiliki nilai-nilai
kebenaran, kejujuran dan keadilan, dimana sudah banyak oknum kepolisian yang
telah bersekutu dengan pelaku kejahatan. Simon Sinesky
bersama tokoh imajiner yang diwakili sebagai Malaikat Jibril datang
menginvestigasi dan melakukan penyelidikan terhadap polisi-polisi di suatu
negeri antah
berantah. Dimulai dari polisi
berpangkat rendah brigadir hingga perwira tinggi jenderal. Investigasi ini
dilakukan berdasarkan buku dosa yang telah dicatat, karena
bagaimanapun sebagai mahluk beriman segala amal kebaikan beserta dosa-dosa
sudah dicatat untuk dipertangungjawabkan di kemudian hari.
Dengan melihat substansi novel yang
membongkar kejahatan dari sarang institusi yang seharusnya membasmi kejahatan,
maka tak heran di halaman-halaman awal, penulis dengan nada satir, mendedikasikan
novel ini untuk
para pembela kejahatan yang telah mati berkalang tanah. Kasus-kasus
seperti pemerasan, penyuapan, becking, mafia judi, dan lain sebagainya,
menjadi sasaran kejahatan yang bisa dilakukan oleh aparat, sehingga
muncul stigma polisi sampah, yang kemudian dijadikan sebagai judul novel ini.
Kasus-kasus ini bukan
hanya terjadi di masyarakat umum yang melibatkan polisi tetapi juga di internal
kepolisian dari penerimaan, kenaikan pangkat hingga mutasi yang banyak menyalahi
aturan. Kejahatan begitu terlembaga dengan memperlihatkan struktur
kejahatan yang bertingkat-tingkat dari bawahan hingga atasan, dari unit di wilayah
terpencil hingga kantor pusat di tengah kota, dari
bentuk kejahatan pemerasan kecil-kecilan hingga besar-besaran. Jika di
pengadilan ada idiom, “menang jadi arang, kalah jadi abu”, maka dikisah
ini pelayanan kepolisian dipersamakan dengan “melaporkan
kehilangan satu ekor ternak, maka sebenarnya akan mengalami lebih banyak
kehilangan ternak lagi”.
Investigasi yang dilakukan Malaikat
Jibrael bersama Simonov Sinesky tergambar
dalam bab-bab novel ini yang memperlihatkan intrik, fitnah dan manipulasi yang
dilakukan oleh: 1) Brigadir David Lemonde (Bagian Direktorat Penyidikan
Kriminal); 2) Komisaris Gortez Pikos (Kepala Biro Pemindahan Personil); 3)
Komisaris Heindrich Murthony (Direktur Penyidikan Umum); 4) Komisaris Thimoty
Troven (Direktur Penyidikan Khusus); 5) Ajun Komisaris Andrea Zogero (Wakil
Direktur Penyidikan Umum); 6) Ajun Komisaris Antonio Lilipo (kepala Unit Pidana
Umum); 7) Ajun Komisaris Bondero Compos (Wakil Direktur Polisi Penjaga Wilayah
Perbatasan); dan 8) Ajun
Komisaris Marco Tuvigor. Dalam investigasi ini juga dimunculkan tokoh Simone
Derbone yang
merupakan karakter protogonis sebagai polisi sesungguhnya, memberikan citra
positif, berhati mulia dan siap melawan
kejahatan.
Novel
yang berani membuka tabiat buruk para polisi, walau sedianya tidak semua polisi bermoral
bejat, sehingga sepatutnya apa yang disebutkan adalah oknum. Walau terkesan
terlembaga, tetapi masih ada polisi-polisi jujur yang berani melawan
mainstream. Seperti yang dikatakan penulis bahwa jumlah perwira baik
lebih sedikit dari jumlah perwira kotor. Bahkan disebutkan bahwa karakter sesungguhnya seorang polisi bisa
dilihat setelah empat tahun masa berdinas. Begitu tamat
pendidikan ia layaknya seperti sebuah kertas tabularasa yang akan
mengarahkannya menjadi seorang polisi bersih atau polisi sampah. Dua
tahun masa selepas pendidikan, adalah masa idealisme dengan membawa
nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran. Namun bagaimana nilai-nilai itu
dipertahankan, menjadi tanda tanya kemudian.
Dibutuhkan
keberanian untuk mengangkat tabir, untuk kita lebih waspada, bukan dengan orang
lain tetapi pada diri kita sendiri. Tidak menutup
kemungkinan negeri antah berantah itu adalah negeri kita sendiri, karena bagaimanapun novel
adalah ruang sastra yang bisa menyandingkan dunia fiksi dan fakta dalam
dua sisi mata logam yang sama. Sebenarnya bukan hanya di lembaga pemberantasan
kejahatan, hal ini juga bisa
terjadi di instansi pemerintah sipil lainnya, yang
berbeda hanya bungkusan artifisial
sedangkan
secara substansinya sama saja. Adapun nama orang dan tempat di negeri anta
berantah dalam
novel ini memakai nama-nama yang berbau Latin
dan Eropa Timur.
Novel
yang banyak mengurai tentang institusi kepolisian ini, memang
lebih afdol ditulis oleh seorang polisi juga, karena lebih memahami
seluk beluk kinerja kepolisian. Aiptu Simon Junion Buang
Sine adalah dibalik lahirnya novel ini, sudah dikenal sebagai polisi yang
penulis, penulis yang polisi. Anggota Dit Sabhara Polda Nusa Tenggara Timur
ini sudah terlebih
dahulu dikenal dengan rubriknya di harian lokal,
seperti seri karikatur “Dialog santai
To’o mahatahu deng Ama tukang batanya”, dan seri feature“Wawancara Detektif Otak Miring dengan Bung
Pena” di dua
harian berbeda. Sebelum hadirnya buku novel “Polisi
Sampah” setebal 300 halaman, terbitan Smart WR
Yogyakarta cetakan Pertama tahun 2015 ini, dari tangan dingin sudah terbit dua
novel yaitu Dua Malam Bersama Lucifer
(2012) dan Petualangan Bersama
Malaikat Jibrael (2013), novel yang bukan saja merambah pasar nasional
tetapi juga telah menembus pasar internasional dengan label bestseller. Sementara ini tengah menyelesaikan
novel “Israel”, yang melengkapi tetralogi buku karyanya. Selain menulis, polisi penulis ini aktif
juga di dunia sosmed dan sementara ini menekuni jasa detektif swasta spesialis
kasus-kasus pembunuhan.
Dengan menggunakan judul dan sampul provokatif
yang mengundang perdebatan berbagai kalangan. Penulis ini sejatinya telah
menjalankan teknik pemasaran yang brilian, memilih tema
novel yang sensitif hingga muncul di saat yang tepat dan
bahkan pemesan buku khusus di Kota Kupang, bisa diantar
sendiri oleh
penulis ke alamat pemesan, jadi bisa bertemu secara langsung dengan penulis, di
kesempatan itu kita bisa berdiskusi dengannya, meminta book signing dan
bahkan bisa ber-selfie
dengan sang penulis. (*)
Kupang, 04 Juli 2015
©daonlontar.blogspot.com
©daonlontar.blogspot.com