Sebuah buku tentang khazanah sejarah
Kota Kupang berjudul “Koepang Tempo Doeloe”, setidaknya menambah deretan buku-buku sejarah yang masih sedikit tentang keberadaan kota Kupang dalam skala lokal
hingga nasional. Buku yang menambah referensi tentang Kota Kupang ini, tentunya menjadi sebuah daya tarik tersendiri bagi
masyarakat Kota Kupang yang merindukan dan ingin kembali menemukan unsur heritage
pembangunan Kota Kupang dari masa ke masa, dan dibawakannya ke hadapan pembaca sebagai bacaan
alternatif kilasan sejarah dengan nuansa yang baru dan sedikit berbeda. Salah
satunya adalah dengan menguatkan kajian dengan menambah unsur folklore atau cerita rakyat yang
berkaitan dengan migrasi komunitas yang semula berasal dari sejarah penceritaan
(oral history).
Buku ini diterbitkan
oleh Penerbit Ruas yang merupakan anak dari Penerbit Komunitas Bambu, yang selama ini memang fokus pada penerbitan buku ilmu pengetahuan sejarah,
budaya dan humaniora. Konsep buku “tempo doeloe” yang oleh Kelompok
Komunitas Bambu sebenarnya lebih pada buku-buku terjemahan editorial, berupa catatan antologi terhadap berbagai tulisan oleh para
penjalajah asing yang kebetulan datang dan menyinggahi suatu wilayah di
nusantara dan lalu menceritakan kesannya. Sedangkan dalam
buku ini lebih agak berbeda karena berdasarkan pada ethnic dan
locus spesifik yang lebih kecil yaitu Kota Kupang dengan penulis tunggal
yang adalah putra daerah, Ishak Arries Luitnan.
Eksistensi buku ini juga ditunjang oleh dukungan beberapa tokoh yang memberikan kata sambutan seperti Helmy
Faishal Zaini (Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal), Fary Francis (Anggota
DPR RI asal NTT), Frans Lebu Raya (Gubernur NTT), Esthon Foenay (Wakil Gubenur
dan Tokoh Masyarakat Adat Helong), Ayub Titu Eki (Bupati
Kupang), dan tak lupa juga catatan Anhar Gonggong
(Sejarawan Nasional) dan Daniel Tagu Dedo (Dirut Bank NTT) yang juga sebagai salah satu sponsorship
penerbitan buku ini. Namun yang lebih berarti bagi penulis adalah memasukan
sebuah pesan “titipan” dari alm. El Tari (Gubernur NTT1966-1978).
Hadirnya buku ini sebagai upaya penulis
untuk merekonstruksi kembali sejarah Kota Kupang dari berbagai serpihan yang
pernah ada sebelumnya. Dengan mengurai berbagai topik tentang seluk
beluk sejarah lahirnya Kota Kupang, sehingga dapat diperoleh
gambaran umum tentang perubahan sosial, budaya, agama maupun politik di sebuah
wilayah cikal bakal Kota Kupang di ujung barat Pulau Timor ini. Tidak hanya itu ditambahkan juga dengan beberapa hal seperti
daftar garis silsilah keluarga dan aspek toponimi (panamaan tempat).
Kisah bermula dari eksodus Etnik Helong dari Nusa Ina (Pulau
Seram) Maluku yang berlayar dan kemudian mendarat di ujung timur Pulau Timor,
hingga kemudian melalui perjalanan darat terus bergerak ke arah barat, lalu
menduduki dan memutuskan untuk menetap di Kaisalun (Fatufeto) dan Bunibaun
(Bonipoi). Mengisahkan perjalanan panjang yang menguras waktu satu generasi
untuk sampai pada tempat impian yang mungkin telah dipikirkan sejak awal
memulai perjalanan, dengan banyak suka dan duka yang ditemukan. Kaisalun dan
Bunibaun sebagai cikal bakal Kota Kupang kemudian diperintah oleh tiga raja
yaitu Raja Lai Kopan, Raja Lissin Bissing dan Raja Muda Lais Kodat. Ketiga raja
ini memimpin masyarakat Helong sehingga menamakan diri sebagai Kerajaan Helong.
Seiring waktu berjalan datang pula berbagai rombongan suku-suku dari pedalaman
Timor untuk bergabung dengan Kerajaan Helong, yaitu Suku Pitais, Suku Amabi,
Suku Taebenu dan Suku Sonbai, masing-masing diangkat menjadi Fettor (raja
kecil) dan membawahi wilayah yang telah ditentukan.
Boatyard near Kupang, Timor, plate 9 from 'Le Costume
Ancien et Moderne' By Felice Campi
Sebagai sebuah bandar kecil yang kemudian diberi nama
“Koepang”, akhirnya bertumbuh menjadi pusat perdagangan cendana, hasil bumi
khas Pulau Timor yang menembus perdagangan internasional kala itu, hingga
kemudian memancing kedatangan kompeni untuk menjajah dan menjadikan Koepang
sebagai pusat administrasi pemerintah kolonial dari era Portugis, VOC, Belanda,
Inggris, Jepang hingga pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Begitulah sedikit
cuplikan isi buku dan menjadi clue
pada pembahasan bab demi bab dalam buku ini.
Dengan demikian buku ini bisa menjadi
awal untuk menemukenali kearifan lokal masyarakat penghuni pertama Kota Kupang di masa lalu dan bisa menjadi dasar untuk penelitian lanjutan lainnya. Sayangnya buku yang diterbitkan akhir tahun 2012 dengan tebal 310 halaman ini, belum dijual secara komersial dan
masih diterbitkan secara terbatas. (*)
Koepang, 17 Juni 2013
©daonlontar.blogspot,com