ArtPics - Photography © Peter Kefali
Pergelaran
Piala Dunia 2014 hampir selesai dengan menyisahkan tiga laga lagi untuk
menentukan negara mana yang berhasil membawa pulang Piala Dunia. Terharu ketika
kita melihat ending setiap
pertandingan terutama di laga knock out.
Tampak wajah-wajah tertunduk penuh penyesalan dengan perasaan sedih, ditambah amarah
serta isak tangis yang diredam para pemain, apa lagi bagi mereka yang merasa
paling bertanggungjawab terhadap kekalahan. Tidak mudah meraih kemenangan dan
membawa pulang piala, karena piala itu terbatas dan tentunya temporal, tidak
semua bisa mendapatkannya dan para pemain tidak selamanya memiliki kesempatan
untuk mengulang di waktu yang lain. Butuh perjuangan dan kerja keras, tapi juga
sangat ditentukan oleh apa yang dinamakan “takdir” sebagai faktor “x”, atau
dunia barat menyebutnya “dewi fortuna” sebagai keberuntungan, karena hanya ada
satu pemenang. Dan pastinya setiap pergelaran ini menghadirkan kisah berbalut
drama yang terekam dan sulit terlupakan.
Semua
yang berada dalam kompetisi pasti memiliki impian untuk memperoleh piala dunia,
ada sangat optimis tapi ada juga yang realistis. Realistis dengan menargetkan
tahapan lolos grup, perempat atau semi finalis saja. Tetapi yang jelas di otak
semua pemain tentu berharap menjadi juara. Siapa tidak bangga bisa menang di
event yang mana semua mata tertuju, menjadi pusat perhatian dunia bahkan bagi
negara-negara yang sama sekali tidak pernah terlibat dalam pergelaran sepak
bola dunia empat tahunan ini. Bila impian itu tercapai dan berhasil menjadi
juara serta membawa pulang piala, sebagai tim mereka akan dielu-elukan sejagat
tanah air dan dunia, puja dan puji membanjiri ke segenap tim, euforia dan
semangat akan raihan kemenangan begitu meluap, nama-nama mereka tercatat dalam
sejarah tim, negara dan dunia. Prestasi mereka akan di sebut hingga ratusan
tahun akan datang.
Tetapi
Piala Dunia Brasil 2014 belum berakhir dan belum ada pemenangnya. Menarik bahwa
dalam pergelaran sepak bola paling akbar itu selalu ada hal yang masih irasional
yaitu meramalkan tim pemenang. Sebuah usaha untuk mendahului takdir melampaui analisis
kekuatan tim, analisis statistik, catatan di atas kertas hingga aksi dilapangan
hijau. Pemenang seolah deterministik dibandingkan probabilitis dari semua
peserta tim. Padahal selalu ada harapan untuk menggapai kemenangan tanpa
terjebak pada hasil ramalan, itu menjadi motivasi bawah sadar dengan
membayangkan telah mendapatkan piala walaupun kemudian tidak bisa menghindari
takdir dan keluar lapangan dengan kepala tertunduk sebagai pihak yang kalah,
tetapi diantaranya keluar dengan kepala tegak karena merasa tidak pernah
dikalahkan, hanya merasa kemenangan itu ditunda.
Kisah
ini repetitif atau terulang dari empat tahunan sebelum-sebelumnya dan empat
tahunan yang akan datang. Kalo konteks piala dunia untuk negara-negara, kita turunkan
ke level individu-individu, akan membawa cerita bahwa semua orang ingin
memiliki piala dalam hidup ini, piala itu bisa ditafsirkan sebagai sesuatu yang
dibanggakan dalam hidup karena untuk memperolehnya dibutuhkan usaha dan kerja
keras. Tetapi terkadang kita terjebak pada apa yang dinamakan ramalan, jika hal
itu terjadi maka pembenaran dijadikan alasan untuk mengamininya. Seperti kisah
klasik seorang perempuan yang didatangi seorang nenek, yang meramalkan tentang
masa depannya.
Keinginan
itu ibarat mengharapkan piala, kadang karena piala itu terbatas maka kita perlu
berkompetisi untuk mendapatkannya, perlu tangis untuk sebuah piala yang hilang,
diantara cinta, harapan dan keyakinan. (*)
Musim Piala Dunia Brasil 2014 - Kupang, 07 Juli 2014
©daonlontar.blogspot.com