Pagi ini dalam penerbangan,
saya membaca tulisan opini di harian Victory News Kupang, oleh Isidorus
Lilijawa S. Fil, MM, sebagai pemerhati permasalahaan sosial. Tema tulisan yang
diangkat adalah tentang belis, dengan judul “Belis dan Martabat Manusia”, walau
singkat tulisan ini sangat mencerdaskan dengan menempatkan belis pada tempat
seharusnya. Hal yang dipaparkan adalah relevansi belis dalam nilai budaya dan
dampak belis terhadap kekerasan terhadap kaum perempuan atau kekerasan dalam
rumah tangga. Memang kajian tentang belis masih menjadi hal yang menarik. Sebagai
catatan di Nusa Tenggara Timur, mahar atau mas kawin jamak disebut dengan
belis.
Sedari dulu “belis” telah
menjadi pembendaharaan kata yang membekas buat saya, yang secara sederhana
diartikan sebagai mahar (mas kawin) berupa sejumlah harta yang diberikan oleh
calon mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan sebagai prasyarat
berlangsungnya perkawinan. Setahu saya sudah banyak peneliti asing, nasional
dan lokal yang mengangkat tema ini dalam penelitiannya, seperti yang saya
temukan ketika mereka mendatangi pusat koleksi deposit perpustakaan daerah
untuk studi literatur selain melakukan studi di lapangan. Begitu juga istilah
“belis” kadang menjadi bahan gurauan bagi teman-teman, bila dalam satu kondisi
seseorang belum melunasi utang belis, sekedar candaan tetapi memiliki implikasi
yang miris. Namun juga tak dapat dipungkiri bahwa soal belis akan menjadi sesuatu
yang saya akan hadapi kelak.
Belis telah menjadi
fenomena sosial budaya bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur, belis merupakan
bagian yang tidak terlepas dari adat perkawinan dan memiliki konsekuensi bila
tidak dilaksanakan. Karena menjadi hal yang mengikat maka pembayaran belis
perkawinan ini bisa dilakukan dengan tunai saat akan berlangsungnya upacara
perkawinan atau dengan cara diangsur dalam atau tanpa batas waktu. Karena belis
yang telah ditetapkan menjadi utang maka wajib untuk dibayarkan. Bilamana pihak
laki-laki belum melunasi belis-nya dan atau telah meninggal dunia, maka
pelunasannya akan menjadi tanggung jawab keturunannya. Bila belis masih belum
juga dilunasi maka akan menerima sanksi moral, sosial maupun psikologis di dalam
lingkungan masyarakat.
Selain uang, ragam belis di
Nusa Tenggara Timur adalah periasan emas atau perak, gading gajah (Flores
Timur), moko/nekara perunggu (Alor), ternak seperti kuda, kerbau, sapi dan babi
(Sumba), sofren/lempengan emas (Belu). Sedangkan besarnya belis ditentukan oleh keadaan status sosial pihak
perempuan, semakin tinggi status sosialnya, maka semakin tinggi belisnya. Namun
nilai besaran belis bisa juga bisa ditentukan oleh hasil perundingan antara
keluarga pihak laki-laki dan perempuan. Adalah kebanggan jika pihak laki-laki
telah berhasil melunasi belisnya baik saat perkawinan atau setelahnya, maka
belis bisa dikatakan sebagai simbol pemersatu laki-laki dan perempuan sebagai
ikatan suami-istri, dan juga menjadi bagian pengesahan perpindahan marga/suku
istri ke marga/suku suami, serta sebagai kompensasi terhadap jasa orang tua mempelai
perempuan yang telah membesarkan anak gadisnya.
photo: suaranews.com
Secara dikotomis, belis
bisa dipahami sebagai hal yang positif atau negatif. Determinasi ini bermula
dari cara berpikir dan bertindak. Namun di sini penulis opini seperti yang telah
saya sebutkan di awal tulisan, memiliki pisau analisis yang baik menterjemahkan
bahwa belis merupakan hal esensial karena menyentuh martabat manusia. Belis
tidak diartikan sebagai “membeli gadis” baik secara kontan atau cicil, dan juga
suatu bagian skenario ekonomi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya
bagi pihak keluarga perempuan terhadap pihak keluarga laki-laki. Maupun beserta
dengan dampak ikutannya bila belis belum atau sudah terlunasi baik untuk pihak
laki-laki maupun untuk pihak perempuan. Yang mana bila belis belum terlunasi
pihak lelaki akan menjadi “perahan” keluarga perempuan dan bila telah
terlunasi, maka pihak perempuan akan menjadi “harta milik” yang menjadi
sepenuhnya milik pihak laki-laki. Sehingga dapat menimbulkan kekerasan dalam
rumah tangga.
Namun ketika membaca
tulisan beliau dengan menghadirkan prespektif berbeda. bahwasahnya dampak belis
terhadap kekerasan di nilai sebagai kematian belis sebagai simbol budaya,
karena belis diarahkan pada wilayah ekonomis semata. Sedangkan belis sebenarnya
adalah sebuah simbol kebudayaan yang menjaga kehormatan seorang perempuan yang
memiliki nilai-nilai luhur sejak dahulu kala, di lain sisi belis juga merupakan
bentuk penghargaan terhadap perempuan melalui pertalian kekeluargaan. Manusia
hidup dibentuk dari simbol budaya, sehingga manusia menjadi subjek sesungguhnya
untuk menjadikannnya dirinya lebih
beradab dan bermartabat.
Sebagaimana peribahasa
Flores berbunyi: “dua naha nora
ling, nora weling, loning dua utang ling labu weling, dadi ata lai naha letto
wotter”, (setiap perempuan mempunyai nilai, mempunyai harga, sedangkan sarung dan
bajunya juga mempunyai nilai dan harga, sehingga setiap lelaki harus membayarnya).
(*)
Tambolaka,
10 September 2014
©daonlontar.blogspot.com
©daonlontar.blogspot.com