Photo: en.wikipedia.org
Saya kebetulan sedang membaca buku biografi Jenghis
Khan karya John Man, dan di saat bersamaan juga, saya menonton film Warrior
Princess (Queen Ahno). Dari buku dan film tersebut saya mendapat gambaran
tentang kehidupan dan kebudayaan Mongolia dengan bentangan geografis wilayah
Mongolia yang sangat luas, stepa di mana-mana. Kadang kita mendapatkan kejadian
seperti ini, mendapatkan satu cerita yang sama dari beberapa sumber, tanpa di
sengaja di waktu bersamaan. Namun saya tertarik dengan apa yang diulas John Man
dalam bab awal bukunya, tentang salah satu hewan penting bagi kehidupan orang
Mongolia. Selain kuda sebagai alat transportasi utama dan penyangga ekonomi,
marmut atau sejenis hewan pengerat memiliki struktur penting bagi salah satu
kebutuhan pangan orang Mongolia.
Salah satu ciri khas marmut adalah hewan sosial yang
saling berkomunikasi di antara sesama dengan siulan, terutama bila ada bahaya
yang akan terjadi. Marmut umumnya sarang di dalam tanah dan melakukan hibernasi
selama musim dingin. Hewan dari famili Sciuridae ini terbilang memiliki rasa
ingin tahu yang sangat besar. Seperti jika ada bahaya datang, biasanya derap
kuda dan roda kendaraan di padang stepa, mereka akan memantau hingga kemudian
lari bersembunyi. Tetapi jika bahaya sudah berlalu mereka akan segera memantau
lagi karena rasa ingin tahunya. Hal inilah yang digunakan para pemburu Mongolia
untuk menjebaknya. Dengan mengibar-gibarkan benda putih maka marmut akan keluar
dari sarang, begitupun dengan pakaian pemburu yang mencolok membuat marmut tak
kehilangan rasa ingin tahunya dan begitu terpesona dengan sesuatu yang asing,
menganjal rasa penasarannya, untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Dan kemudian
dijadikan sasaran empuk dengan ditembak. Marmut adalah binantang lugu, yang
karena keluguannya menjadi malang yang didapat.
Pemburu yang memanfaatkan keluguannya dan sekaligus
kelemahan marmut yeswehunt.eu
Menariknya adalah bagaimana hewan marmut memiliki
nilai mitologis bagi Bangsa Mongolia. Hampir dimanapun di penjuru dunia
mitologis hewan dan manusia saling bertautan, dan masing-masing kebudayaan
memiliki nilai cerita yang unik. Di tanah Mongolia, marmut adalah makanan musim
panas yang begitu dicari, terutama daging bagian bahunya yang disebut sebagai “daging
manusia”, dianggap sebagai santapan yang paling lezat. Kisahnya berawal dari
mitos masa lalu Bangsa Mongolia. Kala itu ada tujuh matahari, sehingga membuat
cuaca begitu panasnya. Orang-orang bersepakat untuk mencari seorang ahli
pemanah yang bisa memanah enam matahari. Ada seorang yang sangat berani untuk
menerima tantangan ini, Ia berkata, “esok saat pagi datang, saya akan memanah
enam dari tujuh matahari, jika gagal aku akan menjadi seekor marmut, memotong
ibu jariku, minum darah, makan rumput kering dan hidup di bawah tanah”. Besoknya,
Ia telah berhasil memanah lima matahari. Saat melepaskan panah yang keenam, tanpa
disadari seekor burung pipit melintas dan panah itu mengenai ekor burung
tersebut, sehingga membuat ekornya seperti garpu hingga saat ini. Karena gagal
memanah matahari keenam, maka ia akhirnya menjelma menjadi marmut, hal itulah
mengapa marmut memiliki daging manusia di tubuhnya.
Prangko marmut Mongolia (foxstudio.files.wordpress.com)
Cara mengolah daging marmut terbilang berbeda dari
biasanya. Setelah digantung dan dikuliti, isi perut marmut dibuang, daging
dipotong dadu. Dan kemudian daging yang telah dipotong dimasukan kembali dalam
kulit yang telah dijahit menyerupai kantong, bersama dengan batu-batu kecil
yang telah dipanaskan terlebih dahulu dalam bara dan kemudian kantong itu
dipanggang lagi sehingga akan benar-benar matang dari dalam oleh batu panas dan
dari luar oleh bara. Cara masak yang unik bukan. Karena selalu di buru,
populasi marmut di Mongolia mengalami penurunan dalam beberapa dekade terakhir.
Sehingga oleh pemerintah, hewan ini telah dilarang untuk diburu. (*)
Kupang, 29 September 2014
©daonlontar.blogspot.com
©daonlontar.blogspot.com