Jika kita memasuki
dunia melukis maka kita tak bisa lepas dari salah satu nama yaitu Vincent van Gogh. Seorang seniman dunia yang menggeluti seni lukis dan
menjadikan sebagai jalan hidup. Dikisahkan bahwa Van Gogh ingin merasakan
penderitaan bersama buruh tambang di Borinage, Belgia. Ia bergabung dan hidup dalam kemiskinan dan
kesengsaraan. Disitulah Van Gogh mulai menghibur,
menolong bahkan merelakan hartanya untuk para buruh miskin tersebut. Namun hal ini dikritik oleh sastrawan Emile Zola, yang menganggap bahwa
tindakan tersebut bodoh dan tidak akan membantu kehidupan para buruh tambang. Sebagai sastrawan Emile Zola lalu menulis buku yang menggambarkan kehidupan
dari para buruh tambang tersebut. Jauh lebih banyak
membantu mereka dengan membuat penderitaan mereka lebih diketahui secara
universal dari pada yang dapat dilakukan oleh
Van Gogh dengan cara menderita bersama mereka.
Kemudian baru
diketahui bahwa tidak sepenuhnya Van Gogh salah
menurut penilaian Zola. Van Gogh sengaja memasuki kehidupan para
buruh untuk
merasakan empati yang dalam, bukan dengan sekadar
simpati dari suatu jarak. Inilah yang
mengilhami kecenderungan
sikap Van Gogh terhadap realitas dengan
menyajikan dalam bentuk lukisan. Berbeda dengan Zola yang mengandalkan tulisan
dan kata-kata, maka Van Gogh dengan garis, gambar dan warna yang emosional
sebagai wujud simpati terhadap rakyat jelata yang termarginalkan. Sehingga
benar bahwa sastrawan dengan tulisannya dan pelukis tentu dengan lukisannya.
Dari prespektif
historis di atas saya memulai masuk pada cara pandang yang berbeda lagi. Dari sini saya mencoba
melihat pertautan hubungan antara penulis dengan
tulisannya dan pelukis dengan lukisannya.
Wujudnya dapat dibaca dalam novel terbaru Dewi Lestari (Dee). Dalam novel
tersebut sang
penulis mencoba mengaitkan antara melukis dan menulis. Menurutnya pelukis harus dapat mengungkapkan semuanya
sekalipun itu hanya kekosongan. Karena bagaimanapun kekosongannya juga dapat bersuara.
Tanpa hadirnya kekosongan, mustahil bagi siapapun untuk mengawali sesuatu. Lukisan
juga seharusnya menghadirkan sebuah penjiwaan yang tinggi dan terus bergradasi pada batin orang yang melihatnya. Memunculkan energi yang dibangkitkan dari pancaran ruh kehidupan, menyentuh dari apa yang terlukis seolah lukisan itu hidup dan
menghampiri kita. Sang pelukis menghadirkan
sebuah persepsi baru, berkata-kata dengan garis, gambar, warna dan komposisi. Bagaimana lukisan memperangkapkan
perasaan secara magis dalam sebuah kehidupan yang
lain.
Trailer Perahu Kertas yang diangkat dalam film
Lalu bagaimana dengan menulis. Penulis tidak
hanya pintar merangkai kata tetapi juga
harus
memberi nyawa, yah nyawa sebuah tulisan. Seperti melukis yang memadukan
garis, gambar, warna dan komposisi, maka penjiwaan tulisan terdapat dalam pilihan kata-kata dengan plot dan alur yang menarik. Kata-kata seperti senjata atau sentuhan yang siap membentuk apapun. Kata-kata dapat dilukis, diukir bahkan
ditarikan. Katanya, “kita bisa melukis
kata-kata seindah lukisan, mengukir kata-kata seindah ukiran dan membuat
kata-kata menari gemulai seperti tarian.” Begitupun, setiap penulis harus
memulai dengan lembaran-lembaran kosong.
Kekosongan merupakan permulaan yang baik dari sebuah ketidaktahuan. Sedangkan guratan tinta juga adalah guratan perasaan dari liuk-liukan jemari yang menumbuhkan kehidupan dalam sebuah tulisan. Demikianlah
gambaran novel ini mengisahkan tentang
cinta yang bersenyawa di antara lukisan dan kata-kata.
Novel ini diperankan oleh dua tokoh utama yaitu Keenan (sang pelukis) dan
Kugy (sang penulis dongeng). Keduanya dipertemukan dalam sebuah bingkai kosong
yang oleh Dee ditulis dan dilukis. Menghubungkan berbagai isu sentral kehidupan, dari keluarga, cita-cita, pendidikan, pekerjaan, persahabatan hingga
percintaan. Dengan karakter tokoh dalam novel yang kuat mampu memberikan
inspirasi, bahwa hidup itu adalah pilihan dan sebagaimana judulnya “perahu
Kertas”, bahwa kehidupan tentunya harus
terus mengalir karena semuanya akan dipertemukan kembali dalam lautan yang maha
luas.
Selesai membaca novel Perahu Kertas!
Kupang, 10 Juni 2012
©daonlontar.blogspot.com