Sebuah novel sejarah yang
mengulas tentang kedudukan bandar niaga maritim
Benteng Somba Opu pada abad ke-17. Dalam
konstelasi persaingan dengan VOC berkaitan dengan penguasaan jalur ekonomi
perairan Indonesia Timur. Novel ini mengisahkan dua
kali perang laut antara armada Kerajaan Gowa dan barisan kapal perang VOC.
Perang pertama terjadi di Laut Masalembo,
mempertemukan armada Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Kapal Gallek Karaenta, dalam rangka menghadang
armada kapal VOC yang dipimpin Kapal De
Leuwin dalam jalur pelayaran menuju Benteng Fort Rotterdam dari Batavia.
Sedangkan perang kedua terjadi di laut Banda mempertemukan armada Kerajaan Gowa
yang dipimpin oleh dua kapal perang Gallek
Karaenta dan Tunipallangga yang
berusaha menghadang Armada VOC beserta sekutu-sekutunya yang dipimpin oleh
Kapal Van Hoyer.
Serasa
beruntung suatu kali sempat bercakap-cakap dengan seorang sastrawan besar Nusa
Tenggara Timur yang telah lama bergelut dalam kubangan makna dunia
kesusastraan. Beliau adalah Gerson Poyk, sastrawan senior Nusa Tenggara Timur
yang lebih dikenal di luar daerah dibandingkan dengan tanah kelahirannya
sendiri. Jika bukan dengan penjelajahan di dunia maya dan membaca karyanya,
maka saya kurang mengenal siapa Gerson Poyk. Memang pada umumnya pelajar dan generasi
muda Nusa Tenggara Timur saat ini kurang mengenal sosok hebat ini. Padahal Ia
adalah seorang penulis, wartawan, dan juga mantan guru yang karya-karyanya
telah menempatkan dirinya sebagai salah seorang penulis besar dari Kawasan
Timur Indonesia. Hal yang mungkin dimaklumi karena Gerson Poyk adalah perintis
sastra Nusa Tenggara Timur. Namun dibelakang Gerson Poyk sudah ada beberapa
sastrawan muda yang mulai bermunculan untuk melanjutkan pengembangan sastra
Flobamora kedepan, sebagaimana yang kita harapkan demikian.
Jumat, 06 Juli 2012
Sastra,
Tokoh,
Ulas Buku
Tetralogi Buru (The Buru Quartet): Karya Pramoedya Ananta Toer
Di suatu tengah malam, seorang
teman mengajak keluar hotel mencari
santap malam. Walau tidak dalam keadaan lapar saya pun nurut saja. Kota metropolitan Jakarta membuat
insomnia seolah kambuh. Kami menyusuri Jalan KH.
Agus Salim, dahulunya jalan ini bernama Jalan Sabang, sehingga lebih dikenal
dengan kawasan Sabang, Jakarta Pusat. Kami singgah di sebuah
warung tenda dan memesan ikan bakar lalapan. Memang tidak lengkap jika
menunggu, menikmati dan mengakhiri santap malam tanpa di temani para pengamen dan peminta-minta. Namun ada juga beberapa pedagang yang membawa banyak buku-buku jualan. Disinilah baru saya melihat pedagang buku yang mobile dari satu warung tenda ke warung
tenda yang lainnya, sambil membawa banyak
tumpukan buku. Buku yang ditawarkan bermacam-macam ada yang asli ada juga yang bajakan.
Buku bajakan dapat dikenali dari warna sampul buku yang
berbeda dari sampul buku yang sama dijual di Toko Buku Gramedia. Tetapi ada yang menarik dari tumpukan buku yang dibawa
oleh bapak-bapak penjual buku itu, yaitu buku-buku Tetralogi
Buru karya Pramodya Ananta Toer serta buku Pramodya lainnya. Harga
yang tertera di sampul cenderung tinggi sehingga perlu untuk ditawar. Dengan penawaran, saya mendapatkan harga yang sangat murah dibandingkan dengan
harga pasaran yang saya ketahui. Hingga
membawa pulang kembali ke hotel satu set novel Tetralogi Buru, yang terdiri empat judul
buku (Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca).
Sebuah novel karya Mezra E.
Pellondou, seorang pendidik di Kota Kupang yang
telah dikenal sebagai sastrawati lokal yang sering mendapatkan
penghargaan nasional di bidang sastra. Kehadiran novel Perempuan
dari Lembah Mutis (2012), melengkapi beberapa novel yang telah ditulis
sebelumnya
seperti Surga Retak (2006), Loge
(2007) dan Nama Saya Tawwe Kabotta
(2008). Novel Perempuan dari Lembah Mutis
ini, sama
halnya dengan beberapa novel populer lainnya, bercerita
tentang anak kampung yang ketika masa kecilnya
mengalami getirnya hidup, namun tetap memiliki semangat dan harapan. Asa itu kemudian dituangkan dalam bentuk imajinasi yang terinsipirasi dari kehidupan. Imajinasi itu dapat
ditemukan di mana saja, baik dari pesan orang tua, petuah
guru, nyanyian alam, kumpulan hewan bahkan hingga sesuatu yang dianggap sepele. Dari imajinasi yang
mengawang itulah timbul hasrat untuk mencapainya, yang dinamakan motivasi
hingga seseorang dapat mencapai mimpinya.
Langganan:
Postingan (Atom)
My Facebook
Catatan....!!!
Menulis bukan bakat, tetapi kemauan. Dalam kisah setiap orang pasti akan menuliskan apa ada yang ada di pikiran dan perasaannya.. Secara perlahan menulis mengantarkan seseorang menuju pencerahan, karena menulis membuat orang membaca dan sebaliknya membaca membuat orang menulis. Menulis merupakan pembelajaran, dan tidak hanya sekumpulan kalimat tetapi merupakan sekumpulan nilai dan makna. Kini cara menulis tidak lagi menggunakan pahat dan batu, tongkat dan pasir atau dengan kemajuan teknologi tidak lagi dengan tinta dan kertas tetapi sudah beranjak pada keyboard dan screen. Banyak kisah dan sejarah masa lalu yang tidak terungkap, karena tak ada yang mencatatnya atau bahkan lupa untuk mencatatnya. Mengutip kalimat singkat milik Pramoedya Anantatoer, “hidup ini singkat, kita fana, maka aku akan selalu mencatatnya! Agar kelak abadi di kemudian hari…” Catatan adalah sebuah kesaksian dan kadang juga menjadi sebuah pembelaan diri. Seseorang pernah memberiku sebuah diary, dengan sebuah catatan yang terselip. Kelak aku akan mengembalikannya dalam keadaan kosong karena aku telah mencatatnya di sini….!!!