Di suatu tengah malam, seorang
teman mengajak keluar hotel mencari
santap malam. Walau tidak dalam keadaan lapar saya pun nurut saja. Kota metropolitan Jakarta membuat
insomnia seolah kambuh. Kami menyusuri Jalan KH.
Agus Salim, dahulunya jalan ini bernama Jalan Sabang, sehingga lebih dikenal
dengan kawasan Sabang, Jakarta Pusat. Kami singgah di sebuah
warung tenda dan memesan ikan bakar lalapan. Memang tidak lengkap jika
menunggu, menikmati dan mengakhiri santap malam tanpa di temani para pengamen dan peminta-minta. Namun ada juga beberapa pedagang yang membawa banyak buku-buku jualan. Disinilah baru saya melihat pedagang buku yang mobile dari satu warung tenda ke warung
tenda yang lainnya, sambil membawa banyak
tumpukan buku. Buku yang ditawarkan bermacam-macam ada yang asli ada juga yang bajakan.
Buku bajakan dapat dikenali dari warna sampul buku yang
berbeda dari sampul buku yang sama dijual di Toko Buku Gramedia. Tetapi ada yang menarik dari tumpukan buku yang dibawa
oleh bapak-bapak penjual buku itu, yaitu buku-buku Tetralogi
Buru karya Pramodya Ananta Toer serta buku Pramodya lainnya. Harga
yang tertera di sampul cenderung tinggi sehingga perlu untuk ditawar. Dengan penawaran, saya mendapatkan harga yang sangat murah dibandingkan dengan
harga pasaran yang saya ketahui. Hingga
membawa pulang kembali ke hotel satu set novel Tetralogi Buru, yang terdiri empat judul
buku (Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca).
Dari keempat buku terbitan
Lentera Dipantara yang saya beli, ternyata tidak memiliki
edisi cetakan yang sama: Bumi Manusia,
cetakan ke-16 Oktober 2010, Anak Semua
Bangsa, cetakan ke-13 September 2011, Jejak
Langkah, cetakan ke-9 Februari 2012 dan Rumah
Kaca, cetakan ke-9 September 2011. Hal ini menandakan bahwa banyak yang
menikmati tetralogi ini secara parsial sehingga tidak melihat mindset secara keseluruhan bagan cerita
dari sang pengarangnya. Memang keempat roman ini menampilkan karakter yang berbeda-beda
dalam satu mainstream kisah yang sama. Bumi Manusia lebih mengisahkan kehidupan
manusia dalam pertentangan kelas di zaman kolonial. Anak Semua Bangsa mengurai kehidupan dari struktur budaya, sosial dan hukum. Jejak
langkah menitikberatkan pada organisasi perjuangan, sedangkan Rumah
Kaca lebih pada politik kolonial dalam mempertahankan
kekuasaannya di negeri Hindia. Butuh
waktu dua minggu untuk menyelesaikan membaca empat buku ini, memang harus
banyak waktu yang diluangkan untuk membaca buku ini dan kebanyakan saya lakukan
menjelang tidur. Sulitnya adalah ketika menemukan momentum yang dapat mencegah
untuk berhenti membaca, inginnya terus membaca
padahal malam telah jauh. Inilah pertama kali saya membaca roman dari empat
buku yang tidak terputus, yang kira-kira digabungkan setebal
13,5 centimeter dengan 2.438 halaman atau setara
dengan 170-an
halaman per malam.
Di sebut Tetralogi Buru (The Buru Quartet) karena ditulis Pramodya Ananta Toer dalam masa penahanan di Pulau Buru. Ia menulis empat kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Ditulis pada tahun 1975 namun sebelumnya telah menjadi sastra lisan, yang selalu Ia ceritakan kepada teman-temannya di Pulau Buru. Tokoh utama dari kronik novel ini adalah Minke, seorang bangsawan kecil Jawa yang didasarkan pada kisah RM Tirto Adisuryo, seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi, sebuah organisasi nasional pertama. Kisah Tetralogi Buru ini melingkupi masa antara tahun 1898 hingga tahun 1918, masa di mana muncul pemikiran politik etis dan juga masa awal periode Kebangkitan Nasional yang merangsang pertumbuhan organisasi modern nasional.
Jika memilih mana yang terbaik
dari keempat buku tetralogi ini, maka saya memilih Bumi Manusia. sebagaimana judulnya bumi manusia, bahwa
dari bumi ini menghadirkan banyak kisah. Disinilah
bermula perkenalan terhadap para tokoh utama, disinilah akar permasalahan mulai diurai, tumbuh dan berkembang
seterusnya hingga berakhir pada buku keempat. Disinilah kisah percintaan indah
yang pernah terjadi, disinilah bermula pertikaian
antara pribumi dan golongan kulit putih.
Novel Bumi Manusia pertama kali diterbitkan
oleh Penerbit Hasta Mitra tahun 1980, penerbitan awal
terbilang sulit karena merupakan karya dari eks tapol yang bagi penerbit
lainnya tidak berani menanggapinya. Namun penerbitan awal dari satu bagian tetralogi ini
mendapatkan sambutan yang baik, bahkan sejumlah penerbit luar negeri ingin
mendapatkan hak terjemahan. Tidak hanya itu masyarakat mengapresiasi penerbitan
tersebut dengan menyebutnya sebagai karya sastra terbaik, yang kemudian juga mendapat trade mark sebagai “Sumbangan
Indonesia untuk dunia.” Namun berselang setahun
buku Bumi Manusia dilarang karena dianggap mempropagandakan ajaran-ajaran
Marxisme-Leninisme dan Komunisme yang menyebabkan keresahan di masyarakat. Ganjilnya buku tersebut tidak terdapat paham yang dimaksud, sebaliknya lebih pada paham nasionalisme terhadap
kolonialisasi pendudukan Belanda. Selain diterjemahkan dalam berbagai bahasa,
Bumi Manusia juga telah di sulih suara menjadi cerita bersambung di Radio 68H di tahun 2002 dan sejak tahun 2006 mulai dipentaskan dalam bentuk teater. Kabarnya di tahun ini akan di-launching film Bumi Manusia oleh
Miles Production.
Secara keseluruhan Tetralogi Buru, berkisah tentang Minke yang bersekolah di HBS hingga Mingke yang menemui
ajal karena penyakit yang dideritanya dan kemudian dimakamkan. Dari mulai menulis di koran hingga mendirikan
penerbitan sendiri. Dari mulai pernikahan pertama hingga untuk
yang ketiga kalinya. Dari masa ketika
berada di Wonokromo hingga masa pembuangan di Kota Ambon. Menampilkan banyak tokoh dengan
berbagai karakter protogonis dan antagonis, mulai dari Nyai Ontosoroh, Robert
Mallema, Annelies Malema, Jean Marais, May Saroh, Robert Suurhof,
Ang San Mei, Jacques Pangemanan dan masih banyak lagi. Banyak kisah dibalik kisah dalam tetralogi ini yang membuat semakin
menarik dan seru, bahwa sisi kehidupan manusia sangat kompleks, saling kait
mengkait yang menghubungkan setiap manusia dengan permasalahannya. Disinilah terlihat
kemampuan pengarang, membawa pembacanya
terpaut dekat dengan para tokoh, seakan berjalan bersama mereka, seolah hidup
dalam klimaks-klimaksnya sehingga pembaca layaknya menjadi saksi bisu.
Pramoedya
Ananta Toer
(1925-2006), merupakan salah satu lagenda sastra Indonesia dan juga dunia, karena karya-karya beliau
telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Ada 50-an buku karya
Pramodya, namun diantaranya tidak ditemukan lagi karena beberapa alasan seperti
hilang ditangan penerbit, dirampas oleh marinir Belanda, dibakar
oleh militer Indonesia, hingga di cekal Pemerintah melalui
keputusan Jaksa Agung. Bukunya dilarang beredar dan Ia ditahan tanpa pengadilan di Nusa-kambangan hingga akhirnya di Pulau
Buru di Kawasan Timur Indonesia. Karya-karyanya
menggetarkan dunia sehingga Ia
beberapa kali dicatat sebagai nominasi penerima Nobel bidang sastra. Menarik
alasannya produktif menulis karena merasa tidak akan berumur panjang, namun
sebaliknya justru ia bisa mencapai umur
81 Tahun. Hanya
karena fisik dan kepikunan di masa tua yang membuatnya berhenti menulis sejak umur 71 tahun. Menurutnya, karya-karya yang
telah dihasilkan sebagai
anak-anak jiwa yang terbang bebas setelah didewasakan dengan pena dan mesin tiknya.(*)
Kupang, 06
Juli 2012
©daonlontar.blogspot.com
©daonlontar.blogspot.com