Sebuah novel sejarah yang
mengulas tentang kedudukan bandar niaga maritim
Benteng Somba Opu pada abad ke-17. Dalam
konstelasi persaingan dengan VOC berkaitan dengan penguasaan jalur ekonomi
perairan Indonesia Timur. Novel ini mengisahkan dua
kali perang laut antara armada Kerajaan Gowa dan barisan kapal perang VOC.
Perang pertama terjadi di Laut Masalembo,
mempertemukan armada Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Kapal Gallek Karaenta, dalam rangka menghadang
armada kapal VOC yang dipimpin Kapal De
Leuwin dalam jalur pelayaran menuju Benteng Fort Rotterdam dari Batavia.
Sedangkan perang kedua terjadi di laut Banda mempertemukan armada Kerajaan Gowa
yang dipimpin oleh dua kapal perang Gallek
Karaenta dan Tunipallangga yang
berusaha menghadang Armada VOC beserta sekutu-sekutunya yang dipimpin oleh
Kapal Van Hoyer.
Menarik juga ilustrasi cover novel yang memperlihatkan
barisan kapal perang VOC yang berhadapan dengan kapal Phinisi Kerajaan Gowa
dalam perang Makassar 1669. Kisah ini juga diliputi kisah cinta antara I Makurruni, pemuda hamba kerajaan yang
diangkat menjadi perwira muda dalam dua perang tersebut dengan putri Raja Gowa I Patimang,
serta
konflik keluarga kerajaan meskipun tidak menjadi sesuatu yang klimaks dari
kisah perang laut ini.
Novel sejarah ini menghadirkan epos perang dan kepahlawanan. Strategi perang laut yang diterapkan hingga gemuruh meriam perang yang berdetum serta adu pedang dan badik yang berakhir antara kemenangan atau kekalahan. Kisah pertarungan laut ini jika diimajinasikan akan menandingi kisah perang laut dalam film Pirates of the Caribbean yang diproduksi Jerry Bruckheimer. Namun novel ini menyajikan satu sudut pandang saja, yaitu dari kerajaan Gowa. Sehingga timbul pertanyaan bagaimana perspektif dari VOC sendiri dalam maksud menguasai jalur perdagangan vital di Indonesia Timur hingga perspektif sekutu-sekutu VOC, salah satunya perselisihan antara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone. Terlepas dari itu novel sejarah ini telah membawa peristiwa tiga setengah abad yang lalu ke dalam imajinasi pembaca. Mengingatkan kisah kehidupan Benteng Sompa Opu di masa lalu (semasa mahasiswa saya pernah merasakan beberapa harmal tinggal di dalam benteng).
Novel sejarah ini menghadirkan epos perang dan kepahlawanan. Strategi perang laut yang diterapkan hingga gemuruh meriam perang yang berdetum serta adu pedang dan badik yang berakhir antara kemenangan atau kekalahan. Kisah pertarungan laut ini jika diimajinasikan akan menandingi kisah perang laut dalam film Pirates of the Caribbean yang diproduksi Jerry Bruckheimer. Namun novel ini menyajikan satu sudut pandang saja, yaitu dari kerajaan Gowa. Sehingga timbul pertanyaan bagaimana perspektif dari VOC sendiri dalam maksud menguasai jalur perdagangan vital di Indonesia Timur hingga perspektif sekutu-sekutu VOC, salah satunya perselisihan antara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone. Terlepas dari itu novel sejarah ini telah membawa peristiwa tiga setengah abad yang lalu ke dalam imajinasi pembaca. Mengingatkan kisah kehidupan Benteng Sompa Opu di masa lalu (semasa mahasiswa saya pernah merasakan beberapa harmal tinggal di dalam benteng).
Keberanian punggawa kerajaan Gowa melawan kompeni Belanda begitu dikagumi hingga kemudian nama raja yang bergelar Sultan Hasanuddin diabadikan menjadi nama
sebuah universitas negeri terbesar di Indonesia Timur. Di sebut kampus merah sebagai perwujudan warna panji kebesaran Kerajaan Gowa dalam
menghadapi kolonial (saya sempat merasakan militansi berlebihan para punggawa kampus).
Semangat badik dan padompe (senjata dan destar khas Makassar) yang mengurat dalam sejarah masa lalu!
Selesai membaca novel: Perang Makassar 1669
Kupang, 29 Juli 2012
©daonlontar.blogspot.com
©daonlontar.blogspot.com