Serasa
beruntung suatu kali sempat bercakap-cakap dengan seorang sastrawan besar Nusa
Tenggara Timur yang telah lama bergelut dalam kubangan makna dunia
kesusastraan. Beliau adalah Gerson Poyk, sastrawan senior Nusa Tenggara Timur
yang lebih dikenal di luar daerah dibandingkan dengan tanah kelahirannya
sendiri. Jika bukan dengan penjelajahan di dunia maya dan membaca karyanya,
maka saya kurang mengenal siapa Gerson Poyk. Memang pada umumnya pelajar dan generasi
muda Nusa Tenggara Timur saat ini kurang mengenal sosok hebat ini. Padahal Ia
adalah seorang penulis, wartawan, dan juga mantan guru yang karya-karyanya
telah menempatkan dirinya sebagai salah seorang penulis besar dari Kawasan
Timur Indonesia. Hal yang mungkin dimaklumi karena Gerson Poyk adalah perintis
sastra Nusa Tenggara Timur. Namun dibelakang Gerson Poyk sudah ada beberapa
sastrawan muda yang mulai bermunculan untuk melanjutkan pengembangan sastra
Flobamora kedepan, sebagaimana yang kita harapkan demikian.
Karya-karya
beliau sudah sulit ditemukan di toko-toko buku ataupun di perpustakaan-perpustakaan
yang ada di Nusa Tenggara Timur. Miris padahal novel-novelnya di beberapa
dekade yang lalu adalah karya sastra terbaik, tak kalah dengan novel populer
lainnya. Saya bertanya kepadanya, bagaimana agar karya-karyanya bisa dicetak
ulang agar generasi mendatang dapat mengetahui bahwa NTT punya sastrawan yang
mumpuni. Namun ia dengan jawaban berat, menyiratkan kesulitan menemukan
kesepahaman dengan penerbit, hal yang hampir sama dialami oleh para penulis
buku.
Gerson
Poyk yang lebih akrab dipanggil Opa Gerson ini punya banyak petuah bagi negeri
kaya yang kita diami ini. Namun sayangnya teriakan suara para sastrawan seolah
teredam di telinga para pengelola negeri. Banyak pemikiran filsafat yang ia
tuangkan melalui nilai-nilai kesusastraan di dalam karya-karyanya. Apa yang ia
tulis merupakan hasil inspirasi pengalaman kehidupan di masa lalu, sebagai
bagian dari pergulatan batin dan alam bawah sadar yang selalu bergejolak.
Kemudian menjadi spirit yang menggerakannya untuk terus menulis puisi, cerpen,
novel sebagai wujud energi spiritual yang mengimbanginya.
Sebutan sebagai perintis sastra Nusa
Tenggara Timur memang tepat, karena dalam novel-novelnya ia bercerita tentang kehidupan,
kebudayaan, lingkungan sosial dan interaksi manusia dengan alam yang mengedepankan
lapis-lapis hikmah dan sisi humanis di dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur.
Kisah-kisah dalam novelnya lebih pada manusia marginal, sehingga menyajikan
sesuatu yang human interest dengan
melihat dari sisi yang lebih tajam.
Gerson Poyk dilahirkan 16 Juni 1931 di Namodale, Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Beliau menjalani seluruh masa kecilnya di NTT, dengan hidup berpindah-pindah tempat tinggal dan sekolah mengikuti Ayahnya. Mulai tinggal dan bersekolah di Ruteng (Manggarai), Bajawa (Ngada), Maumere (Sikka), Kalabahi (Alor) hingga ke Soe (Timor Tengah Selatan). Setelah itu ia berkelana keluar NTT dengan melanjutkan Sekolah Guru Atas di Surabaya (1955) dan kemudian menjadi guru SMP dan SGA Negeri di Ternate (1956-1958), lalu berpindah ke Bima (1958-1963). Pada tahun 1963, ia berhenti menjadi guru dan memilih bergabung menjadi wartawan di Harian Sinar Harapan hingga tahun 1970, setelah itu ia keluar untuk menjadi penulis lepas (freelancer) dan penulis tetap (kolomnis) di berbagai media cetak nasional.
Karya-karya beliau diantaranya dalam
bentuk Novel adalah Sang Guru (1972),
Nyoman Sulastri (1988), Meredam Dendam, tarian Ombak, sang Sutradara dan
Wartawati Burung, Seruling Tulang, Enu Molas di Lembah Lingko, Putra-Putri
Gutemberg, Petualangan Dino (1979), Cintaku yang Tulus Khinatimu yang Mulus,
Doa Perkabungan (1987), Requiem untuk Seorang Perempuan (1983), Profesor
Blo,on, Hari-Hari Pertama (1968), Cumbuan Sabana (1979), Seutas Benang Cinta
(1982), dan lain-lain. Sedangkan kumpulan cerpen adalah Di bawah Matahari Bali (1982), Mutiara di
Tengah sawah (1985), Jerat (1978), Nostalgia Nusatenggara (1975),
Oleng-Kemoleng dan Surat-Surat Cinta Alexander Rajaguguk (1974), Nostalgia
Flobamora (2001) dan lain-lain.
Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke
dalam bahasa asing seperti Inggris, Jerman, Rusia, Belanda, Jepang dan Turki, serta menjadi bahan
penelitian mahasiswa dalam dan luar negeri. Selain itu banyak penghargaan yang
telah diperoleh, diantaranya SEA Writer Award (1989),
Lifetime Achievement Award dari Harian Kompas,
Adinegoro Award (1985 & 1986), Anugerah Kebudayaan dari Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (2011) dan beberapa penghargaan lainnya. Berikut adalah video kisah
Gerson Poyk di usia lanjutnya, diwawancarai oleh salah
seorang jurnalis senior NTT lainnya Peter Apollonius Rohi dan dinarasikan oleh Krus Haryanto, termuat dalam wartatv.com :
Gerson Poyk, Lansia Produktif (1)
Gerson Selalu Menyusu Ibu Pertiwi (2)
GersonSeperti Monyet Berkaki Dua (3)
Gerson
Sastrawan Petani (4)
Bukunya yang baru diterbitkan Februari 2011 lalu, adalah Keliling Indonesia dari era Bung Karno
sampai SBY. Buku setebal 308 halaman itu menapak kisah demi kisah
perjalanannya selama menjadi wartawan ke berbagai tempat di Indonesia dari
zaman Bung Karno hingga Presiden SBY. Dari membaca buku ini, ada
beberapa pelajaran yang menarik diantaranya, bahwa kehidupan akan kaya jika banyak berelasi dengan orang lain dan lingkungan. Tak pelak bagi seorang sastrawan
seperti dirinya selalu mendapat ide dari lingkungan sekitar untuk menuliskan
novel. Pengalaman tinggal di Ternate menghadirkan novel Sang Guru, berteman berjalan dengan beberapa orang pembawa sapi ke pasar pada dini hari
menghadirkan karya sastra Petualangan
Dino dan dari seorang kenalan pramugari
bernama Isabella, hadir novel Nostalgia
Nusa Tenggara.
Keliling Indonesia dari
era Bung Karno sampai SBY menceritakan seluk beluk
kehidupan wartawan termasuk tugas pers dalam mewujudkan keadilan di
masyarakat. Namun juga terbesit kisah wartawan yang harus hidup dalam ketergantungan honor menulis, sehingga bagaimanapun ditaktisi dengan berbagai cara untuk bertahan. Bahkan hingga terpaksa melego barang bawaannya seperti jaket, kamera, tas dan lainnya untuk mendapatkan fresh
money agar dapat melanjutkan perjalanan. Image yang rupanya sudah melekat pada wartawan ini. Buku ini membawa kita bertualang ke tahun-tahun
60-an, 70-an dan 80-an, melihat perkembangan kota-kota di nusantara saat itu. Bagaimana dengan sektor pendukung
pariwisata, bahkan hingga hal yang
menggelikan dari kepariwisataan Indonesia sebagai
sebuah hal yang belum menjadi perhatian saat itu. Menarik juga adalah sepenggal
perjalanan ke Timor Portugis sebelum integrasi.
Darinya
para wartawan bisa belajar dengan cara peliputan malam, yang ia namakan
kombinasi kalong dan tikus yaitu menyusuri kota di pojok-pojok yang mungkin
terlewatkan oleh kita yang setidaknya merupakan puisi kehidupan. Tak lain juga
di sini kita akan menemukan hal-hal nyeleneh
yang dilakukan Gerson Poyk. Seperti
mengaku sebagai keluarga Soekarno, menilep press
release, menjadi pelatih gadungan, mencatut nama orang dan hal-hal lucu
lainnya, ada yang mengkaitkan dengan Gerson Poyk sebagai orang Rote yang
memiliki kecerdasan sekaligus kecerdikan.
Terlepas dari itu, saatnya pertiwi Nusa Tenggara Timur memberikan
apresiasi buat Opa Gerson atas sumbangsihnya pada kemajuan dan perkembangan
sastra di Nusa Tenggara Timur. Walau di masa senjanya sebagai sastrawan, ia
masih kuat berkebun dalam arti sesungguhnya. Untuk memberikan sekedar contoh bahwa ibu pertiwi adalah “sebuah piring raksasa”, sebagai impian pembangunan dibenak seorang sastrawan untuk mengelola tanah dan menghidupi
orang. (*)
Kupang, 18 Juli 2012
©daonlontar.blogspot.com
©daonlontar.blogspot.com