Adalah suatu jalan membuka ingatan masa lalu, ketika bisa
kembali datang melihat-lihat rumah kos atau biasa kami menyebutnya pondokon, tempat
tinggal semasa kuliah di Tamalanrea Makassar. Kenangan panjang yang tergurat
dalam masa pencarian pendidikan yang selalu membekas dalam dinding kayu, rumah
panggung dan halaman rawa. Hal itu terukir sebagai mozaik pengalaman dengan
balutan suka dan duka, harapan dan tantangan hingga ikhtiar dan realitas yang kesemuanya
berakhir dengan semangat bersahaja sebagai mahasiswa di rantau.
Sekelumit cerita datang dari hamparan rawa-rawa di sekitar pelataran
rumah pondokan. Daerah dataran rendah langganan banjir di setiap musim
penghujan, maklum sebelah barat wilayah adalah pinggiran laut dan merupakan
daerah rawa-rawa yang oleh perkembangan penduduk kota dijadikan permukiman yang
semakin hari semakin padat.
Saya masih mengingat bagaimana rasanya banjir, ketika harus
keluar rumah pondokan dengan menggulung celana selutut hingga ke jalan umum yang
lebih tinggi untuk bisa menggunakan sepatu kemudian ke kampus dan demikian juga
pulangnya. Karena rawan banjir, sebenarnya penduduk telah mengantisipasi dengan
membangun rumah panggung khas rumah bugis dengan dua lantai, sehingga bila
hujan turun terus menerus maka yang tinggal di lantai dasar dapat menggungsi
dan memindahkan barangnya ke lantai atas. Dan lucunya di saat kita berbaring
tidur, kita bisa merasakan riak aliran genangan air di lantai dasar dan halaman
yang terendam banjir. Banjir kadang tak surut-surut jika hujan terus mengguyur,
yah namanya daerah rawa-rawa dataran rendah tempat air mengenang, bahkan daerah
ini mudah untuk membuat danau buatan seperti danau buatan di kampus Unhas yang
hanya berjarak sekitar 300 meter.
Kemudian saya sejenak mengingat apa yang pernah ditulis
Alfred Russel Wallace dalam bukunya Kepulauan
Nusantara, Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam. Ketika berada
di Makassar, ia sempat mendengarkan “konser” yang tak pernah
didengarkannya sebelumnya. Ia mengungkapkan bagaimana
tanah kering di
sekitar rumahnya, yang pada musim penghujan telah berubah
menjadi rawa yang kemudian dihuni oleh kodok-kodok yang mengeluarkan suara riuh rendah berkuak-kuak, sangat menyebalkan baginya
karena terdengar sepanjang senja hingga pagi hari. Suara mereka terdengar agak
bernada, memiliki getaran vibrasi yang kadang menyerupai alat musik
bass dalam sebuah orkestra. Dan
masih menurutnya bahwa dari Malacca (Semenanjung Melayu) hingga Borneo
(Kalimantan), Ia
tidak pernah mendengar suara semacam itu. Sehingga
ia berani mengambil kesimpulan bahwa jenis kodok yang ia
dengar suaranya adalah hewan Celebes yang merupakan spesies dengan ciri khas. Itulah kenangan
Wallace yang di tahun 1856 pernah merasakan tinggal di Makassar.
Namun benarkah suara kodok ini hanya ditemukan di Makassar saja, karena bagi
saya masih banyak tempat yang menghasilkan kodok dengan suara yang unik
tersebut, hanya mungkin Wallace belum menemukannya saja!
Di puncak musim kemarau sebahagian rawa-rawa tersebut berubah
menjadi tanah yang kering, namun ketika tiba musim penghujan cepat kembali
berubah rawa-rawa dan menjadi tempat tumbuh subur kangkung liar dan enceng
gondok. Tak jarang juga terlihat anak-anak yang berendam dalam rawa-rawa sambil
menenteng keranjang plastik untuk mencari ikan cupang, ikan yang dijadikan ikan aduan. Kadang ketika puncaknya
musim penghujan banyak ditemukan sejumlah ikan air tawar yang terkapar-kapar di
jalan-jalan aspal membelah permukiman. Juga sering terlihat biawak rawa sebesar
paha orang dewasa, kehadirannya bisa terasa dari rerumputan yang bergoyang
aneh. Rawa-rawa menjadi tempat genangan air buangan dari semua aktivitas
manusia yang bermukim di situ. Sumur tidak menghasilkan air yang bersih karena terasa
payau bahkan berbau busuk. Ketika banjir maka segala genangan air tersebut
meluap dan tentunya membuat mereka yang berada di lantai dasar memiliki
pekerjaan tambahan.
Ketika musim penghujan berakhir dan kemudian memasuki puncak
kemarau, bekas rawa-rawa dipenuhi rerumputan yang mulai menguning dan mengering
seolah menghilangkan jejak semua aneka spesies yang hanya muncul di musim
penghujan. Bahkan halaman kadang terbakar karena rumput kering atau juga
dijadikan lapangan bulutangkis atau lainnya. Namun ketika waktu berputar, musim
terus berganti dan spesies rawa kembali muncul sebagai sebuah permainan alam
yang mengesankan!.
Kini permukiman Tamalanrea semakin berkembang dan tanah dataran
semakin ditinggikan, kemudian rumah pondokan yang baru sudah dibangun permanen
dengan beton. Sehingga kenangan masa lalu serasa tenggelam dengan pertumbuhan
daerah ini. Dari halaman rawa ini di masa lalu, tak jarang telah tercetak generasi
yang sukses di masa kini dan telah berkelana hingga ke berbagai negeri, yang
kadang pernah menuliskan sedikit puisi dan esai-esei di masa mahasiswa dan lalu
membubuhkan diakhir setiap tulisan dengan kalimat halaman rawa tanggal sekian! Itulah sepenggal kenangan tinggal di
halaman rawa Tamalanrea!
Makassar, 16 Desember 2012
©daonlontar.blogspot.com