Pembangunan
di berbagai bidang sejatinya ditujukan untuk seluruh penduduk, tanpa membedakan
laki-laki atau perempuan. Pada kenyataannya hasil pembangunan belum dirasakan
sama antara laki-laki dan perempuan, demikian juga dengan aspek pembangunan
yang belum menyentuh kebutuhan anak. Di sisi lain berbagai upaya telah
dilakukan dalam rangka meningkatkan kesetaraan dan keadilan Gender serta
pemenuhan hak anak. Sebagai gambaran data, keadaan penduduk tahun 2014
menunjukkan bahwa secara
umum penduduk perempuan
lebih banyak dibandingkan
laki-laki.
Persentase penduduk perempuan sebesar 50,45
persen sedangkan
laki-laki sebesar 49,55
persen. Sex ratio penduduk Nusa Tenggara Timur sebesar
98,23, artinya dari
setiap 100 penduduk perempuan terdapat 98
penduduk laki-laki.
Di bidang kesehatan Angka Kematian Ibu (AKI) Nusa Tenggara Timur, berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Dasar (SDKI), AKI di Nusa Tenggara Timur tahun 2012 sebesar 306 per 100.000 kelahiran hidup, sedikit lebih rendah dibandingkan AKI nasional pada periode yang sama sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Di bidang pendidikan, pada tahun 2014 masih ada sekitar 7,62 persen penduduk usia 10 tahun ke atas di Nusa Tenggara Timur yang buta huruf. Secara umum, angka buta huruf perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki yaitu 8,52 persen berbanding 6,68 persen. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa kemampuan membaca dan menulis perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Gambar 1
Persentase Buta Huruf
Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2014
Sumber : BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur
Menurut
kabupaten/kota, angka melek huruf penduduk berumur 10 tahun ke atas mempunyai
pola yang sama, yaitu persentase penduduk perempuan yang melek huruf lebih
rendah dibandingkan laki-laki. Persentase penduduk perempuan buta huruf
terbanyak terdapat di Kabupaten Sumba Barat Daya yang mencapai 17,60 persen.
Sementara di Kota Kupang, hanya sekitar 3 persen penduduk perempuan berusia 10
tahun ke atas yang buta huruf. Indikator lainnya di bidang pendidikan yaitu tingkat
pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang
ditamatkan akan semakin baik kualitas penduduknya yang juga menggambarkan
kemajuan suatu daerah.
Gambar 2
Persentase Penduduk 10
Tahun ke Atas Menurut Tingkat
Pendidikan yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin
di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2014
Sumber : BPS Provinsi Nusa Tenggara
TimurPada kelompok umur 10 tahun ke atas, perempuan yang menamatkan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar (SD/sederajat), persentasenya lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Sebaliknya untuk jenjang pendidikan menengah (SMP/sederajat hingga SMA/sederajat) ternyata persentase perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Pada jenjang pendidikan tinggi, persentase penduduk laki-laki maupun perempuan yang menamatkan pendidikan tidak jauh berbeda. Secara umum, pendidikan penduduk perempuan pada kelompok 10 tahun ke atas masih di bawah pendidikan penduduk laki-laki.
Di bidang ketenagakerjaan, jumlah penduduk usia kerja di
Nusa Tenggara Timur tahun 2014 sebesar 3,26 juta jiwa, yang terdiri dari 1,59
juta jiwa laki-laki dan 1,67 juta jiwa perempuan. Dari 1,67 juta jiwa penduduk
perempuan usia kerja, 58,33 persen di antaranya merupakan angkatan kerja. Persentase
perempuan yang mengurus rumah tangga secara total adalah 25,92 persen.
Sementara itu Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) merupakan ukuran yang dapat
menggambarkan tingginya jumlah
perempuan yang bekerja. TPAK adalah proporsi
penduduk angkatan kerja,
yaitu mereka yang
bekerja dan menganggur terhadap
penduduk usia kerja (15 tahun ke atas).
Perbandingan antara TPAK perempuan dan laki-laki menunjukkan perbedaan yang
cukup besar, TPAK perempuan yaitu
sebesar 58,33 persen lebih
rendah bila dibandingkan dengan TPAK laki-laki yaitu sebesar 80,00 persen. Berdasarkan
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
merupakan ukuran yang umum digunakan
untuk menunjukkan tingkat pengangguran. TPT perempuan secara total sebesar 3,30
persen sedikit lebih tinggi dari TPT laki-laki sebesar 3,23 persen.
Gambar 3
TPAK Menurut Jenis
Kelamin di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2014
Sumber : BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur
Gambar 4
TPT Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2012-2014
Sumber :
BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur
Selain itu kepala rumah tangga
perempuan berdasarkan data Susenas 2012, rumah tangga yang dikepalai oleh
perempuan di Provinsi NTT sebesar 16,66 persen, yang kebanyakan berada di
perdesaan sebesar 16,86 persen dibandingkan perkotaan sebesar 15.82 persen. Kepala
rumah tangga perempuan memiliki tanggungan anggota keluarga 1 orang dan 2-3
orang lebih banyak daripada kepala rumah tangga laki-laki, dan sebaliknya
kepala rumah tangga laki-laki memiliki tanggungan 4-5 orang hingga 6+ orang
lebih banyak daripada kepala rumah tangga perempuan. Hal ini berkaitan dengan
kenyataan bahwa mayoritas kepala rumah tangga perempuan adalah janda yang
ditinggal suaminya karena cerai hidup atau cerai mati. Bagi yang cerai hidup
atau mati anggota rumah tangga berkurang satu dan jumlah anggota rumah
tangganya tentu kecil. Sedangkan Partisipasi sekolah kepala rumah tangga bahwa
kepala rumah tangga perempuan di NTT sebanyak 52,30 persen tidak memiliki
ijazah, 26,48 persen memiliki ijazah SD, 6,87 persen memiliki ijazah SMP dan
14,35 persen memiliki ijazah SMA+. Sementara tingkat pendidikan tertinggi yang
ditamatkan kepala rumah tangga laki-laki lebih tinggi dibandingakan dengan
perempuan. Sehingga kualitas pendidikan formal perempuan masih dibawah kualitas
kepala rumah tangga laki-laki. Untuk kepala rumah tangga perempuan di NTT yang
bekerja sebanyak 77,51 persen, yang terbanyak di perdesaan sebanyak 84,37
persen dan terendah di perkotaan hanya sebanyak 47, 55 persen. Dengan demikian
terdapat 22,49 persen kepala rumah tangga perempuan yang tidak bekerja
menggantungkan hidupnya kepada orang lain.
Gambar 5
Presentase
Kepala Rumah Tangga Menurut Tempat Tinggal dan
Jenis Kelamin
di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2012
Sumber:
Profil Perempuan Indonesia 2013
Kesempatan yang terbuka lebar bagi
perempuan untuk duduk di lembaga legislatif diatur dalam Undang-Undang No. 2
tahun 2008 tentang partai politik yang menyatakan bahwa parpol harus memenuhi
kuota 30 % bagi perempuan dalam politik terutama di DPRD. Sayangnya aturan
tentang keterwakilan 30 persen perempuan hanya berlaku untuk daftar calon
anggota dewan pada setiap dapil. Jadi jumlah perempuan yang terpilih menjadi
anggota dewan sebenarnya tidak mencerminkan kuota keterwakilan 30 persen
perempuan dalam legislatif.
Hal tersebut tergambarkan dalam
hasil pemilihan anggota DPR-RI dan DPD-RI Periode 2014-2019 asal daerah
pemilihan Nusa Tenggara Timur, dari anggota DPR-RI sebanyak 13 orang dan DPD-RI
sebanyak 4 orang, tidak satupun diwakili oleh perempuan. Jika dibandingkan
dengan anggota DPR-RI dan DPD-RI Periode 2009-2014 asal daerah pemilihan Nusa
Tenggara Timur, Anggota DPR-RI sebanyak 13 orang, 1 diantaranya perempuan dan
DPD-RI sebanyak 4 orang, 2 diantaranya perempuan.
Sedangkan untuk tingkat anggota
DPRD Provinsi & DPRD Kabupaten/Kota se Provinsi Nusa Tenggara Timur periode
2014-2019 berjumlah 715 orang anggota, yang terdiri dari anggota laki-laki
sebanyak 615 orang (91,04%) dan anggota perempuan sebanyak 64 orang (8,95%).
Hasil ini sedikit lebih baik jika di bandingkan dengan anggota DPRD Provinsi
& DPRD Kabupaten/Kota se Provinsi Nusa Tenggara Timur periode 2009-2014
berjumlah 679 orang anggota, yang terdiri dari anggota laki-laki sebanyak 627
orang (92,34%) dan anggota perempuan sebanyak 52 orang (7,65%)
Hasil pemilihan anggota DPRD
Provinsi & Kabupaten/kota se Provinsi Nusa Tenggara Timur periode
2014-2019, dengan jumlah perwakilan anggota perempuan terbanyak yaitu di
Kabupaten Malaka 24 persen, TTS 20 persen, dan Ngada 20 persen, sedangkan
Kabupaten Lembata, Flores Timur, Nagekeo, Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah
tidak memiliki perwakilan anggota perempuan di DPRD.
Gambar 6
Jumlah Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten se Nusa Tenggara Timur periode 2014-2019
Sumber: KPUD NTT
Ketidakterpilihan perempuan dalam
lembaga legislatif di daerah diantaranya disebabkan oleh kurang percaya diri
oleh perempuan sendiri dalam berkompetisi dengan laki-laki dalam dunia politik.
Selain itu juga dapat disebabkan oleh budaya di beberapa daerah yang masih
belum memberikan ruang kotestasi bagi perempuan untuk menjadi wakil penyambung
suara masyarakat. Walhasil keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif di
Provinsi Nusa Tenggara Timur masih jauh dari memadai.
Selain
permasalahaan yang dihadapi oleh perempuan, anak juga mengalami hal demikian.
Kondisi kelangsungan hidup
anak dapat dilihat dari berbagai aspek kesehatan seperti jumlah angka kematian
bayi, berat badan bayi, dan gizi, serta aspek hukum yaitu kepemilikan akta
kelahiran. Angka kematian balita Nusa Tenggara Timur berdasarkan hasil Sensus
Penduduk tahun 1990 sebanyak 108 per 1000 kelahiran, menurun menjadi 58 per
1000 kelahiran pada tahun 2012. Berdasarkan data
Dinas Kesehatan, terdapat 3.830 bayi
dengan berat badan lahir kurang atau 5,1
persen dari total bayi baru lahir yang ditimbang.
Gambar 7
Persentase Bayi dengan
BBLR Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara
Timur Tahun 2014
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi NTT
Data status gizi balita
yang diperoleh berdasarkan pada hasil penimbangan berat badan, secara
rata-rata, sekitar 2 persen balita di Nusa Tenggara Timur mengalami gizi buruk.
Berdasarkan kabupaten/kota, Kabupaten Timor Tengah Selatan tercatat sebagai
Kabupaten dengan persentase terbesar balita bergizi buruk. Pada tahun 2014,
tercatat dari seluruh balita yang ditimbang, hampir 6 persen di antaranya
merupakan bayi dengan berat badan di bawah garis merah, yang merupakan indikasi
balita memiliki gizi buruk.
Kepemilikan akte kelahiran untuk anak
0-17 tahun di Nusa Tenggara Timur masih rendah. Pada tahun 2014, hanya sebesar
30 persen dari penduduk 0-17 tahun yang memiliki akte kelahiran dapat
menunjukkannya, sedangkan 23 persen mengaku memiliki akte kelahiran namun tidak
dapat menunjukkannya. Penduduk usia 0-17 tahun yang tidak memiliki akte
kelahiran menurut Susenas 2014 adalah sebesar 45 persen. Rendahnya kepemilikan
akte menunjukkan kepedulian tentang hak anak oleh orang tua dan pemerintah
perlu ditingkatkan.
Dalam tumbuh
kembang anak, jenjang pendidikan juga merupakan salah satu aspek perlindungan
bagi hak anak atas perolehan pendidikan. Berdasarkan data yang ada, diketahui
bahwa APK SD/sederajat sebesar 114,68 persen, APK SMP/sederajat sebesar 88,66
persen, dan APK SMA/sederajat sebesar 71,86 persen. Tidak berbeda dengan APS
dan APM, ada kecendrungan penurunan APK pada jenjang pendidikan yang semakin
tinggi. Nilai APK SD/sederajat sebesar 114,68 persen menunjukkan bahwa dari
keseluruhan siswa yang bersekolah pada jenjang SD/sederajat di tahun 2014, ada
sekitar 4,68 persen anak yang berusia kurang dari 7 tahun dan lebih dari 12 tahun.
Dengan kata lain terdapat hampir 5 persen anak yang bersekolah SD/sederajat
tidak tepat umur. Pada jenjang pendidikan SD/sederajat, APK laki-laki lebih
tinggi dibanding APK anak perempuan (APK SD/sederajat anak laki-laki sebesar
116,06 persen dan APK SD/sederajat anak perempuan sebesar 113,25 persen).
Keadaan sebaliknya terjadi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi
(SMP/sederajat dan SMA/sederajat), dimana APK anak laki-laki lebih rendah
dibanding APK anak perempuan.
APS 7-12 tahun pada
tahun 2014 tercatat
sebesar 97,99 persen, berarti bahwa dari 100 anak usia 7-12 tahun, sekitar
98 anak masih
bersekolah dan 2 anak tidak bersekolah (baik yang
tidak/belum pernah sekolah maupun tidak sekolah lagi). Sementara itu APS 13-15
tahun tercatat sebesar 94,26 persen dan APS 16-18 tahun
sebesar 73,96 persen. Apabila diperhatikan menurut jenis kelamin, secara
umum terlihat bahwa APS anak perempuan pada setiap kelompok umur sekolah lebih
tinggi dibandingkan dengan APS anak
laki-laki.
APM
SD tercatat sebesar 94,56 persen, APM SMP sebesar 65,86 persen dan APM SMA
sebesar 52,15 persen. Pada jenjang pendidikan yang tinggi, besaran APM menjadi
lebih rendah dibanding dengan jenjang pendidikan di bawahnya atau dengan kata
lain APM dan jenjang pendidikan berbanding terbalik. Tidak
terlihat adanya perbedaan yang nyata antara APM anak laki-laki dengan APM anak
perempuan pada jenjang pendidikan SD/sederajat. APM SD/sederajat anak laki-laki
sebesar 94,21 persen, sedangkan APM SD/sederajat anak perempuan sebesar 94,94
persen. Pada jenjang pendidikan SMP/sederajat, APM perempuan (70,02 persen)
jauh melebihi APM laki-laki (62,06 persen). Sementara pada jenjang
SMA/sederajatAPM anak laki-laki sebesar 50,64 persen, masih lebih kecil
dibandingkan APM anak perempuan sebesar 53,78 persen.
Tingkat buta aksara yang rendah menjadi
indikator sistem pendidikan dasar yang baik dan semakin meningkatnya kesadaran
masyarakat menerima pengetahuan. Persentase penduduk usia sekolah yang buta
aksara di Nusa Tenggara Timur masih sekitar 2 persen. Jika dilihat berdasarkan
jenjang pendidikannya, persentase terbesar adalah pada penduduk usia 7-12
tahun, yaitu sekitar 2 persen. Sementara pada jenjang usia sekolah 13-15 tahun
dan 16-18 tahun, persentase penduduk buta aksara hanya sekitar 1 persen. Berdasarkan
jenis kelamin, penduduk laki-laki usia sekolah lebih banyak buta aksara
dibandingkan penduduk wanita untuk setiap jenjang pendidikan.
Sementara itu angka putus sekolah penduduk usia sekolah
di Nusa Tenggara Timur seperti pada Tabel 4.2 di atas, terlihat bahwa
persentase putus sekolah cendrung meningkat pada level pendidikan yang lebih
tinggi. Berdasarkan jenis kelamin, persentase anak laki-laki yang putus sekolah
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pertama, lebih tinggi dibandingkan anak
perempuan. Sementara pada tingkatan pendidikan menengah atas, persentase anak
perempuan yang meninggalkan bangku pendidikan justru lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki.
Permasalahaan lain anak adalah Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial bagi anak adalah mereka yang karena suatu hambatan,
kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya sebagaimana
anak-anak biasanya, yang tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani,
rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar. Yang termasuk dalam kategori
ini adalah anak balita terlantar, anak terlantar, anak berhadapan dengan hukum,
anak jalanan, anak dengan kedisabilitas, anak korban tindak kekerasan dan anak
yang memerlukan perlindungan khusus. kondisi menurut jenis permasalahan
merupakan data yang menjabarkan/mewujudkan anak-anak yang memiliki kehidupan
yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial
meliputi kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial
dan penyimpangan perilaku, korban bencana dan korban tindak kekerasan,
eksploitasi, dan diskriminasi.
Jumlah anak sebagai penyandang masalah kesejahteraan
sosial di Nusa Tenggara Timur tahun 2014 yaitu: anak balita terlantar berjumlah
17.081 orang, anak terlantar berjumlah 55.768 orang, anak berhadapan dengan
hukum berjumlah 190 orang, anak jalanan berjumlah 2.867 orang, anak dengan
kedisabilitas berjumlah 6.706 orang, anak korban tindak kekerasan berjumlah 965
orang dan anak yang memerlukan perlindungan khusus berjumlah 61 orang.
Gambar 8
Jumlah Anak sebagai
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di Provinsi Nusa Tenggara
Timur Tahun 2014
Sumber: Dinas Sosial Provinsi NTT
Perempuan dalam kehidupan sehari-hari cenderung
mengalami tindak kekerasan. Data kasus kekerasan terhadap perempuan dari 2.114
kasus di tahun 2012 menurun menjadi 1.568 kasus di tahun 2013 dan kemudian
menurun lagi menjadi 1.054 kasus di tahun 2014. Menurunnya angka kasus
kekerasan ini bukan berarti kekerasan terhadap perempuan berkurang, tetapi
kemungkinan besar semakin banyak kasus yang tidak dilaporkan. Realitas
sesungguhnya tindak kekerasan terhadap perempuan terus bertambah, walaupun data
menunjukan tren penurunan. Banyak kasus kekerasan terhadap perempuan tidak
terungkap. Beberapa faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang terjadi
di NTT, cendrung diakibatkan oleh budaya patriarki, di mana memposisikan
perempuan sebagai subordinansi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Dampak kekerasan terhadap perempuan di NTT dalam penyelesaian masih
bersifat kekeluargaan sehingga banyak kasus kekerasan perempuan belum bisa
terungkap secara keseluruhan.
Gambar
9
Jumlah
Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Provinsi NTT 2012-2014
Sumber: Data Olahan
BP3A NTT
Kasus
traficking di NTT berdasarkann data Rumah Perempuan Kupang, semakin menurun
dari tahun ke tahun, namun sebaliknya jumlah korban semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Kasus traficking yang terjadi tahun 2012 sebanyak 312 kasus,
menurun menjadi 15 kasus di tahun 2013 dan 12 kasus di tahun 2014. Sedangkan
jumlah korban 42 orang di tahun 2012, bertambah menjadi 122 orang ditahun 2013
dan meningkat lagi menjadi 131 orang di tahun 2014. Kasus
perdagangan manusia atau human trafficking di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) telah menjadi sorotan
nasional dan membutuhkan penanganan serius. Masih kurangnya pemahaman serta
masalah sosial dan ekonomi, menjadi faktor utama terjadi kasus ini. Kasus yang
menyeret kelompok perempuan dan anak ini kian terus tumbuh subur. Sesuai data
advokasi dari Lembaga Rumah Perempuan Kupang dari tahun 2012 sampai 2014
menunjukan angka yang cukup tinggi yakni sebanyak 312 kasus. Penyebaran kasus
trafficking di 15 kabupaten/kota yakni untuk Kota Kupang 11 kasus, Kabupaten
Kupang 56 kasus, Kabupaten TTS 91 Kasus, Kabupaten TTU 10 kasus, Kabupaten Belu
31 kasus, Kabupaten Malaka 27 kasus, Kabupaten Alor 27 kasus, Kabupaten Lembata
2 kasus, Kabupaten Sikka 1 kasus, Kabupaten Ende 1 kasus, Kabupaten SBD 17
kasus, Kabupaten Sumba Barat 27 kasus, Kabupaten Sumba Tengah 20 kasus,
Kabupaten Sumba Timur 7 kasus dan Kabupaten Rote Ndao 9 kasus.
Gambar
10
Jumlah
Kasus dan Korban Traficking Menurut Kabupaten/Kota di
Provinsi NTT 2012-2014
Sumber: Rumah Perempuan Kupang
Permasalahaan trafficking ibarat gunung es, yang terlihat hanya puncaknya saja tetapi begitu banyak kasus trafficking di NTT yang tidak terungkap karena bersembunyi dalam jaringan yang rapi. Sementara itu salah satu sebab terjadinyahuman trafficking di Nusa Tenggara Timur yaitu tingginya tenaga kerja non prosedural. Dalam penanganannya Tim Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang Provinsi NTT pada tahun 2012-2014 berhasil mengagalkan pengiriman tenaga kerja non prosedural. memperlihatkan terjadinya peningkatan tenaga kerja non prosedural yang digagalkan oleh Tim Gugus Tugas Pencegahan dan Penanaganan Korban Perdagangan Orang. Dari 12 orang di tahun 2012 meningkat menjadi 268 orang di tahun 2013 dan meningkat lagi menjadi 402 orang di tahun 2014.
Permasalahaan trafficking ibarat gunung es, yang terlihat hanya puncaknya saja tetapi begitu banyak kasus trafficking di NTT yang tidak terungkap karena bersembunyi dalam jaringan yang rapi. Sementara itu salah satu sebab terjadinyahuman trafficking di Nusa Tenggara Timur yaitu tingginya tenaga kerja non prosedural. Dalam penanganannya Tim Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang Provinsi NTT pada tahun 2012-2014 berhasil mengagalkan pengiriman tenaga kerja non prosedural. memperlihatkan terjadinya peningkatan tenaga kerja non prosedural yang digagalkan oleh Tim Gugus Tugas Pencegahan dan Penanaganan Korban Perdagangan Orang. Dari 12 orang di tahun 2012 meningkat menjadi 268 orang di tahun 2013 dan meningkat lagi menjadi 402 orang di tahun 2014.
Gambar
11
Jumlah
Tenaga Kerja Non Prosedural yang digagalkan Tim Gugus Tugas Pencegahan dan Penananganan Korban
Perdagangan Orang Menurut Jenis Kelamin di Provinsi NTT 2012-2014
Sumber: Dinas Tenaga Kerja &
Transmigrasi Provinsi NTT
Data kekerasan terhadap anak di tahun 2012 sebanyak 608
kasus, sedangkan di tahun 2013 menurun menjadi 521 kasus dan menurun lagi
menjadi 279 di tahun 2014. Walau terjadi penurunan dari tahun ke tahun bukan
berarti tren penurunan selalu menunjukan realitas, karena banyak juga kasus
yang tidak dilaporkan atau telah diselesaikan secara kekeluargaan. Sehingga hal ini masih menjadi perhatian dan
prioritas pemerintah daerah dalam menurunkan angka kekerasan terhadap anak.
Gambar
12
Jumlah
Kasus Kekerasan terhadap Anak di Provinsi NTT 2012-2013
Sumber: Data Olahan BP3A NTT
Permasalahaan-permasalahaan
tersebut menjadi dasar dalam penentuan dan perumusan kebijakan pembangunan
untuk meningkatkan pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak. Permasalahan
utama adalah belum tersentuhnya hasil pembangunan ke kelompok-kelompok
masyarakat yang membutuhkan. Karena memiliki daya tawar yang rendah maka
kelompok ini sering terabaikan dalam pembangunan. Kelompok rentan ini meliputi
penduduk miskin, penduduk penyandang cacat, penduduk wilayah terpencil,
penduduk usia lanjut, petani, nelayan dan sebagainya. Dalam kelompok-kelompok
tersebut perempuan dan anak adalah kelompok terbesar yang seharusnya juga
mendapatkan perhatian. Atas dasar tersebut kesetaraan Gender telah menjadi
perhatian dan menjadi salah satu strategi pembangunan nasional. Namun hal ini
perlu ditunjang dengan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan Pengarusutamaan
Gender antar kementerian dan lembaga, antar-tingkat pemerintahan hingga antar-kewilayahan.
Sehingga koordinasi sangat diperlukan dalam terutama dalam menyusun Program dan
kegiatan yang memberikan manfaat kepada kelompok perempuan dan laki-laki. (*)
Kupang, 10 Mei 2016
©daonlontar.blogspot.com