Beberapa tahun terakhir pembangunan fisik di Kota Kupang
meningkat pesat. Kehidupan sosial, politik dan ekonomi mengalami perkembangan
yang lebih masif dibandingkan waktu sebelumnya. Walau
perkembangan Kota Kupang bisa dikatakan terlambat jika dibandingkan dengan
kota-kota lainnya di Indonesia bagian Timur, namun kini kehidupan masyarakat
kota Kupang mengalami pergeseran kehidupan ala urban yang mempengaruhi paradigma dalam
berpikir, mengambil keputusan dan bertindak. Ada pergumulan batin dalam mencerna berbagai realitas, apakah pembangunan selamanya memberikan manfaat yang besar atau pada sisi lain memberikan ujian. Sehingga
dibutuhkan ruang partisipasi antara ide dan realitas, dimana suara-suara itu bisa terdengar tanpa ada kekangan idiologi, ekonomi dan terlebih politik.
Perlu adanya keseimbangan kosmos bagi warga kota, keseimbangan
antara nilai materil dan spirit, antara logis dan emosi dan antara substansi atau periferi. Di mana ruang-ruang budaya dibangun, ruang-ruang di mana nalar dibebaskan. Salah satunya melalui pementasan panggung kesusastraan dalam wujud puisi, monolog dan teater. Terbilang baru beberapa kali saja panggung seni diadakan di
Kota Kupang selama tiga atau empat tahun terakhir, yang berbayar sebagai wujud
kontribusi. Dahulunya sepi. Kini dengan panggung sederhana secara material, namun
sudah cukup memberikan substansi yang kaya akan pemaknaan dan nilai. Panggung
itu dihadirkan!.
Duduk dalam deretan terakhir pementasan Panggung Perempuan Biasa, Sabtu, 16 Juli 2016 di Taman Dedari Sikumana. Tak hadir dari awal, saya hanya sempat menikmati tiga monolog
yaitu Perempuan Paling Bahagia (Santji Muskanan), Perempuan Rembulan (Linda Tagie) dan Pidato Tujuh
Menit (April Artison), serta satu teater Du’a Buhu Gelo atau yang berarti Perempuan Kentut Kemiri yang
dibawakan oleh Komunitas Sastra Kahe. Saya
mencermati bagian demi bagian monolog dan menyimpannya sebagai bahan diskusi dalam batin. Saya seolah menjadi warga urban yang mulai mencari
keseimbangan dalam urusan intelektual, emosional dan spritual. Seperti
orang-orang di kota-kota metropolitan, diakhir pekan mereka berada di ruang lisan
dengan cahaya redup, menegaskan diri berada di ruang kesusastraan untuk mengisi
jiwa-jiwa membutuhkan sentuhan seni dan imajinasi.
Di akhir acara, benar apa yang dikatakan seniman Abdy Keraf, harus ada solusi dari setiap permasalahaan yang disajikan dalam monologia. Kalau saya melihatnya bahwa ruang-ruang ini
ibarat tempat disediakan layaknya podium bagi para pengkritikan, penghakiman dan pemberontakan
realitas yang dibalut dengan nuansa sarkastis, ironis dan
satir. Karenanya kita melihat bagaimana adanya tetapi kita lupa bahwa ada ruang sempit yang
diberikan untuk kembali melihat sebuah persoalan realitas bagaimana harusnya, tidak selamanya bagaimana adanya. Tapi
tunggu dulu, bukankah ruang sastra juga adalah dimensi filsafat yang terus
mempertanyakan dan mempertanyakan tanpa memerlukan jawaban.
Tentang perempuan
biasa, realitasnya begitu kompleks. Masalah perempuan baik di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi begitu memprihatinkan, demikian juga dengan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan
perempuan yang menjadi korban human trafficking. Para TKW dari NTT pergi dengan semangat untuk membangun ekonomi keluarga di kampung, sayangnya di antara mereka harus
dipulangkan dengan duka dan kehilangan organ-organ
tubuhnya. Haruskah kemiskinan yang dipersalahkan!, di saat kemiskinan dan berbagai
persoalan pembangunan masih berwajah feminim, mirisnya pembangunan selama ini
berwajah maskulin, sehingga yang tampak adalah disparitas pembangunan.
Kini panggung itu ada
bagi perempuan. Panggung untuk bersuara tentang perempuan. Bersuara tentang ketidakadilan,
dimana selama ini mereka dipinggirkan dalam lembaran sejarah, sosial, ekonomi
dan budaya. Memang panggung perempuan biasa untuk perempuan biasa, namun
perempuan adalah orang yang luar biasa dalam setiap kehidupan mereka yang walau
terlihat biasa-biasa saja. (*)
Kupang, 19 Juli 2016
©daonlontar.blogspot.com