Adalah boneka legendaris Dakocan (Dakko-chan)
yang pernah memiliki masa kejayaan sejak tahun 1960-an hingga tahun 1990-an.
Boneka khas berwarna hitam ini berasal
dari Yokohama, Jepang dan begitu mendunia. Semula adalah boneka plastik berisi
angin yang ditiupkan hingga kemudian menjadi boneka mainan dengan
berbagai bentuk. Sejarah
boneka sebagai mainan tertua sudah ada sejak zaman Yunani, Romawi dan Mesir
kuno. Baru pada abad ke-15, boneka di produksi massal dan dijual, negara
perintisnya adalah Jerman. Dan kini industri boneka berkembang pesat dengan
berbagai karakter dan dari segala penjuru dunia. Salah satunya datang dari
salah satu industri kecil yang dikembangkan dari Pulau Atauro di negara Timor
Leste, dan telah menjadi boneka ikon dari Pulau Atauro yaitu Boneca
de Atauro (Boneka Atauro).
Boneca de Atauro mulai diperkenalkan sejak tahun 2007, dan merupakan karajinan tangan kebanggaan dari Pulau Atauro. Boneka berbahan kain ini lahir dari pulau
kecil, yang
kini telah melanglang
buana ke seluruh dunia sebagai souvenir khas dari
Timor Leste. Sayangnya boneka ini belum terlalu di kenal, khususnya di negera
jirannya Timor Leste, yaitu Indonesia. Belum adanya promosi intens dari satu
kerajinan tangan ini untuk menembus pasar ekspor luar negeri. Tidak seperti sejarah boneka Dakocan yang mendunia karena
diuntungkan
dengan begitu
masifnya liputan tentang boneka tersebut.
Di kala itu sering muncul ulasan di televisi dan mengakibatkan banjir permintaan, hingga stok di toko-toko
kosong, sehingga beredar juga
versi palsunya. Belajar dari pengalaman di bidang industri keratif,
maka industri kecil dari produk
Boneca de Atauro ini telah melakukan upaya menghindari pemalsuan dengan memiliki hak cipta dari Cooperativa polivalente Boneca de Atauro
berbasis di Vila Maumeta di Pulau Atauro (Timor-Leste).
Berbeda dengan Dakocan
yang merupakan produk dari industri besar,
Boneca de Atauro adalah hasil karya kerajinan tangan perempuan-perempuan dari Pulau Atauro. Produk ini
menjadi bagian dari ruang dedikasi bagi perempuan Atauro untuk menunjukan
martabat mereka dengan membangun kemandirian ekonomi lokal. Tak mengenal latar
belakang serta usia
tua dan muda dalam membuat produk ini, sehingga
menjadi wadah dalam
berbagi pengalaman, pengetahuan dan kesabaran lintas generasi. Dengan
membangun produk berbasis komunitas ini dapat meningkatkan kualitas
hidup perempuan serta
membangun ekonomi perempuan dalam wujud socialenterprise
yang lebih mandiri.
Jika Dakocan adalah karakter yang diambil dari hewan
koala yang sedang
memeluk pohon, sehingga pemiliknya biasa memasang di lengan atas, maka berbeda
dengan Boneca de
Atauro yang adalah
karakter asli penduduk
Atauro baik laki-laki maupun perempuan.
Karakter perempuan ditandai
dengan penggunan
kain tenun penutup dada sedangkan laki-laki dengan dada terbuka. Selain
dengan bentuk produk standar, ada juga boneka Atauro yang dibuat lebih besar
seukuran dengan anak kecil berusia tujuh tahun.
Boneca de Atauro diciptakan dari kehidupan asli
masyarakat di Pulau Atauro yang biasa juga disebut dengan Pulau Kambing karena
banyaknya jumlah kambing di pulau ini. Pendapat lain menyebutkan bahwa Atauro berasal dari
kata
"Ata" yang berarti orang
miskin dan "Uro" yang
berarti berhati emas (Portugal), sehingga
berarti orang biasa berhati emas. Selain
itu juga bagi masyarakat lokal menyebut
pulau ini dengan “tempurung kelapa”. Pulau ini letaknya 25 kilometer sebelah utara Kota Dili,
Timor Leste dan berbatasan langsung dengan Pulau Liran, Pulau Wetar dan Pulau
Alor (Indonesia). Secara administratif, pulau ini termasuk salah satu sub
distrik pada Distrik Dili, Timor Leste.
Pulau Atauro (Sumber: Google)
Sebagai pulau kecil dengan luas 105 km², dengan penduduk ± 8.000
jiwa, dan
sebagian topografi wilayahnya berupa pegunungan.
Sehingga masyarakatnya
cendrung memenuhi kebutuhannya
dari laut, terlihat dari
banyaknya yang
menjalani profesi sebagai nelayan, dengan menggunakan alat tangkap bubu, tombak hingga panah. Dengan demikian menggambarkan karakter
boneka Atauro
laki-laki yang menggunakan
ikat kepala dari daun
lontar untuk menyelam di kedalaman laut. Karena berada di pulau kecil yang panas, maka penduduk
Pulau Atauro berkulit gelap, sehingga
karakter
boneka Atauro
juga berkulit gelap. Walaupun demikian tidak ada kesan stereotip dari warna kulit boneka ini,
sebagai bentuk identitas alam dalam kearifan lokalnya sebagai
masyarakat pesisir. Hal sebaliknya
terjadi pada boneka Dakocan, di akhir tahun 1980-an muncul gugatan
atas sesuatu yang bisa memberikan penggambaran stereotip kulit hitam pada
produk seperti boneka Dakocan,
yang berujung bentuk diskriminasi. Hal inilah yang mungkin menjadi sebab boneka tersebut kurang lagi peminatnya karena terkesan mendiskreditkan orang
berkulit hitam hingga kemudian berhenti
berproduksi. Pelajaran dari sini adalah Boneca de Atauro dapat mengikuti jejak kesuksesan Dakocan tetapi tidak dengan kegagalannya.
Kini aspek pariwisata Pulau Atauro mulai dikembangkan dengan melihat
dari aspek bahari yang alami. Apalagi pulau ini sudah ditetapkan sebagai
kawasan konservasi (Marine Protected
Area) oleh pemerintah Timor Leste. Sudah banyak wisatawan domestik dan luar
negeri yang berkunjung ke pulau ini, dengan jarak tempuh hanya sekitar 45 menit menggunakan speed boat dari Kota Dili, yang dengan
sendirinya dapat meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat Pulau Atauro. Mereka mendapatkan penghasilan tambahan, salah
satunya dengan menjual
boneka khas Pulau Atauro,
Boneca de Atauro, harga mulai
dari $ 7 per buah.
(*)
Kupang, 20 September 2016
@daonlontar.blogspot.com