Jumat, 01 Maret 2024

Anendo, nuansa Flores dalam Novel Emilie Jawa 1904

Adalah Emilie yang berasal dari kota kecil Langon, Prancis. Keputusan menikah dengan Lucien Bernières, seorang administrator kolonial, mengantarkannya ke impian masa kecilnya. Menjelajahi tempat yang jauh, tanah Hindia Belanda, di Jawa. Di Batavia, ia menemukan apa yang menjadi pertanyaan di masa kecilnya tentang ketidakadilan dan diskriminasi yang kemudian memancing jiwa memberontaknya.

Sepertiga bagian terakhir dari novel ini akan menguras energi tokoh utama Emilie, yang akan difokuskan ke seorang pemuda asal dari Pulau Solor dari kepulauan Sunda Kecil. Ia bernama Anendo, pandai mengambar yang juga berprofesi sebagai wartawan, memikat dengan rambut panjang menjuntai diikat, berkulit gelap dengan wajah mestizo. 

Anendo seorang representasi “Inlander” dari sebuah pulau kecil nun jauh di Timur sana. Timur dengan pesona rempah-rempah yang membuat barat terpaksa serakah, dari daerah penghasil cendana, pulau Solor. Pesona harum rempah rupanya melekat di kulit Anendo, ia bisa membuat Emilie, wanita Eropa tersebut tenggelam dalam asmara terlarang. Sejak perkenalan hingga perpisahaan mengundang kesan romantisme dalam berbagai metode perselingkuhan yang dibalut antara semangat kolonialisme dan perlawanan politik pribumi.Anendo mendapatkan pengetahuan membaca dan mengambar dari seorang pendeta Portugis yang pernah menempati benteng Lohayong di Pulau Solor. Dan kemudian mengambil kesempatan berhijrah ke Singapura dan kemudian menjadi aktivis pergerakan di Batavia awal abad ke-20. 

Anendo adalah pribumi keturunan dari Portugis hitam, atau campuran dari keturunan Portugis, Belanda dan Timor, yang juga diceritakan orang tuanya bahwa tanah mereka menjadi rebutan pengaruh antara Portugis dan Belanda dalam memperebutkan komoditas yang diburu dalam perdagangan internasional kala itu, Cendana. Dengan karakter yang tenang, justru mengeluarkan aura ketampanan yang dipuji-puji Emilie. Bahkan aroma minyak cendana yang dibalur ditubuhnya oleh pembantunya, mengingatkannya pada Anendo. Hubungan seksual mereka seperti menegasikan antara penjajah dan yang dijajah, sebagai momentum pergerakan dari tubuh-tubuh manusia.(*)
comments

Catatan....!!!

Menulis bukan bakat, tetapi kemauan. Dalam kisah setiap orang pasti akan menuliskan apa ada yang ada di pikiran dan perasaannya.. Secara perlahan menulis mengantarkan seseorang menuju pencerahan, karena menulis membuat orang membaca dan sebaliknya membaca membuat orang menulis. Menulis merupakan pembelajaran, dan tidak hanya sekumpulan kalimat tetapi merupakan sekumpulan nilai dan makna. Kini cara menulis tidak lagi menggunakan pahat dan batu, tongkat dan pasir atau dengan kemajuan teknologi tidak lagi dengan tinta dan kertas tetapi sudah beranjak pada keyboard dan screen. Banyak kisah dan sejarah masa lalu yang tidak terungkap, karena tak ada yang mencatatnya atau bahkan lupa untuk mencatatnya. Mengutip kalimat singkat milik Pramoedya Anantatoer, “hidup ini singkat, kita fana, maka aku akan selalu mencatatnya! Agar kelak abadi di kemudian hari…” Catatan adalah sebuah kesaksian dan kadang juga menjadi sebuah pembelaan diri. Seseorang pernah memberiku sebuah diary, dengan sebuah catatan yang terselip. Kelak aku akan mengembalikannya dalam keadaan kosong karena aku telah mencatatnya di sini….!!!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
;