Gunung
Meja dengan puncak yang terpenggal, dilihat dari Bandara H. Hasan Aroeboesman
Ende
Gunung
memiliki sisi eksotis diantara hamparan daratan. Gunung tunggal dan gunung
dengan jumlah yang banyak atau disebut dengan pegunungan memiliki keindahan
lanskap yang begitu menawan. Tak heran jika gunung-gunung selalu diabadikan
dalam gambar, lukisan dan potret hingga scene film, tak heran juga banyak orang
yang selalu ingin mendaki hingga ke puncaknya. Konon kabarnya gunung berfungsi
sebagai penopang bumi dengan langit, agar bumi bisa tetap berada diporosnya
mengelilingi matahari. Karena berdimensi besar, banyak gunung yang dianggap
memiliki nilai mistis lalu disembah, hingga dijadikan tempat pertapaan, tempat
persembunyian mahluk gaib dan atau sebagai penjelmaan dari hewan atau manusia,
sehingga gunung hampir selalu dekat dengan mitos. Kisah mitologi Yunani
misalnya menyebut gunung sebagai kediaman dewa-dewa seperti, Gunung Olympus
yang didiami oleh Dewa Zeus dengan saudara-saudaranya yang bermusuhan dengan
Atlas dengan para Titan yang mendiami Gunung Othris, perseteruan dua kubu ini
dikenal dengan perang Titanomakhia.
Dalam
konteks nusantara misalnya kita pasti pernah mendengar mitologi Gunung
Tangkuban Perahu, Gunung Kelud dan Gunung Bromo. Mitologi ketiga gunung ini
hampir sama dengan tema kisah percintaan yang misterius. Kisah Tangkuban Perahu
misalnya antara anak yang ingin menikahi sesorang putri yang selalu muda, yang
ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, digagalkan dengan ibunya meminta
permintaan aneh yaitu membuat sebuah perahu yang sangat besar sebelum fajar.
Walau memiliki kesaktian usaha anaknya gagal sehingga kekecewaannya
dilampiaskan dengan menendang perahu hingga terbalik menelungkup dan menjelma
menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Kisah
Gunung Kelud juga antara seorang putri cantik yang membuat sayembara muslihat untuk
menolak lamaran oleh dua manusia berkepala hewan, agar tak ada yang menikahinya.
Hingga kemudian mereka berdua dengan kesaktian yang dimiliki diperintahkan untuk
membuat dua sumur yang sangat dalam lalu memasuki lubang yang mereka buat
sendiri. Setelah keduanya masuk ke dalam lubang, sang putri kemudian memerintahkan
untuk ditimbun dan bekasnya menjadi Gunung Kelud. Sedangkan cerita lainnya
tentang kisah Gunung Bromo yaitu antara seorang putri yang sudah memiliki
kekasih, namun kemudian hadir seseorang yang bersikeras datang melamarnya.
Karena memiliki kekasih lamaran ini berusaha digagalkan dengan memberi
permintaan aneh yaitu diperintahkan untuk membuat lautan di tengah Gunung Bromo
dalam semalam. Dengan kesaktian yang dimilikinya, orang yang datang melamar ini
berusaha dengan memakai tempurung (batok kelapa), namun usahanya benar menemui
kegagalan, karena kecewa batok kelapa itu dibuang disebelah Gunung Bromo dan
menjadi Gunung Batok.
Peta
Ende dengan Pulau Ende (wikimapia.org)
Bergeser
ke timur nusantara kita akan mendengar kisah tentang gunung yang sangat
menarik, tepatnya di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Alkisah di masa dahulu
kala terdapat dua orang pemuda bernama Meja dan
Wongge. Meja adalah pemuda yang jujur, bersahaja, rupawan dan baik hati,
sedangkan Wongge berpenampilan sebaliknya, baik fisik maupun sifat dan wataknya.
Kedua pemuda ini kebetulan mencintai seorang pemudi bernama Iya, tokoh
melankolis yang menjadi pujaan desa atau bisa disebut kembang desa, baik karena
memiliki kepribadian yang baik hati dan ditunjang dengan paras yang cantik.
Meja dan Wongge akhirnya memberanikan diri melamar Iya, namun hanya pinangan
Meja yang diterima sedangkan pinangan Wongge ditolak.
Tidak
menerima lamarannya ditolak, Wongge akhirnya marah besar, begitu sakit hati
karena cintanya ditolak. Kemudian Wongge beritikad jahat dan akan melakukan
segala cara untuk coba menghalangi hubungan antara Iya dan Meja. Wongge
berencana untuk membunuh Meja sebagai cara untuk mencegah bersatunya Iya dan
Meja dalam perkawinan, dan berpikir bahwa dengan terbunuh Meja setidaknya
Wongge berharap bisa mendapatkan cinta Iya. Di suatu hari ketika Meja dan Iya
sedang berduaan, Wongge dengan penuh amarah datang dan menebas putus kepala
Meja dengan parang, Meja seketika tewas tak bernyawa disamping Iya. Entah,
mungkin karena kejadian ini merupakan pelanggaran adat, maka menjelmalah ketiga
tokoh ini menjadi gunung. Meja menjadi gunung di selatan Kota Ende, Iya menjadi
gunung di Semenanjung Ende dan Wongge menjadi gunung yang terletak di Utara
Kota Ende.
Kepala Gunung Meja yang ditebas Gunung Wongge terlempar ke arah Timur Laut dan menjelma menjadi Pulau Koa yang terletak tepat di timur Kota Ende, sebagai pulau karang yang tidak berpenghuni. Pulau ini terbilang misterius karena konon kabarnya sudah ada beberapa kali usaha pengeboman di masa pendudukan Jepang, tapi kemudian tumbuh kembali seperti semula. Atas kejadian tersebut hingga saat ini masyarakat Ende tak akan pernah mengijinkan upaya pemerintah untuk menghancurkan Pulau Koa, karena keberadaannya dianggap dapat menganggu aktivitas dan keselamatan penerbangan di Lapangan Terbang H. Hasan Aroeboesman Ende. Jika saja kemudian akhirnya Pulau Koa berhasil diratakan atau dihilangkan, maka dipercaya bahwa Gunung Iya akan terus menangis yang akan mengakibatkan air laut pasang tinggi dan bisa saja menenggelamkan Kota Ende dan membuat semenanjung Ende menjadi pulau tersendiri, sehingga masyarakat Ende senantiasa menjaganya sebagai pulau kramat untuk menolak bala. Masih menurut cerita beraroma mistis, bahwa Pulau Koa di saat-saat tertentu pindah kembali menduduki tubuhnya di Gunung Meja. Sedangkan Gunung Wongge yang telah membunuh Gunung Meja akhirnya merasa bersalah dan menyesali perbuatannya dan lalu menyingkir jauh ke arah Utara Kota Ende. Parang yang di gunakan Gunung Wongge memenggal kepala Gunung Meja dibuang jauh ke arah barat dan menjelma menjadi Pulau Ende, Pulau yang diyakini masyarakat Ende sebagai parang milik Wongge, karena bentuknya yang menyerupai parang yang memanjang.
Kepala Gunung Meja yang ditebas Gunung Wongge terlempar ke arah Timur Laut dan menjelma menjadi Pulau Koa yang terletak tepat di timur Kota Ende, sebagai pulau karang yang tidak berpenghuni. Pulau ini terbilang misterius karena konon kabarnya sudah ada beberapa kali usaha pengeboman di masa pendudukan Jepang, tapi kemudian tumbuh kembali seperti semula. Atas kejadian tersebut hingga saat ini masyarakat Ende tak akan pernah mengijinkan upaya pemerintah untuk menghancurkan Pulau Koa, karena keberadaannya dianggap dapat menganggu aktivitas dan keselamatan penerbangan di Lapangan Terbang H. Hasan Aroeboesman Ende. Jika saja kemudian akhirnya Pulau Koa berhasil diratakan atau dihilangkan, maka dipercaya bahwa Gunung Iya akan terus menangis yang akan mengakibatkan air laut pasang tinggi dan bisa saja menenggelamkan Kota Ende dan membuat semenanjung Ende menjadi pulau tersendiri, sehingga masyarakat Ende senantiasa menjaganya sebagai pulau kramat untuk menolak bala. Masih menurut cerita beraroma mistis, bahwa Pulau Koa di saat-saat tertentu pindah kembali menduduki tubuhnya di Gunung Meja. Sedangkan Gunung Wongge yang telah membunuh Gunung Meja akhirnya merasa bersalah dan menyesali perbuatannya dan lalu menyingkir jauh ke arah Utara Kota Ende. Parang yang di gunakan Gunung Wongge memenggal kepala Gunung Meja dibuang jauh ke arah barat dan menjelma menjadi Pulau Ende, Pulau yang diyakini masyarakat Ende sebagai parang milik Wongge, karena bentuknya yang menyerupai parang yang memanjang.
Sementara
itu Gunung Iya yang merasa sedih karena terbunuhnya Gunung Meja, kemudian
menunjukkan amarahnya dengan menjadi gunung berapi, yang masih aktif hingga
saat ini. Konon kabarnya jika Gunung Iya mengeluarkan asap atau mengeluarkan
semburan, maka masyarakat Ende meyakini bahwa Gunung Iya sedang menangis dan
bersedih menyimpan kemarahannya hingga kini. Gunung Iya masih setia mendampingi
Gunung Meja yang memang letaknya berdekatan. Sebagai kekasih Gunung Iya, jasad
Gunung Meja menjadi pelindung bagi Kota Ende, jika sewaktu-waktu Gunung Iya
meletus.
Meja,
Iya dan Wongge kini telah menjadi tiga gunung yang bersaksi, walau hanya
sebatas mitos ketiga gunung ini menjadi pesona tersendiri di Kabupaten Ende.
Setiap kedatangan anda ke Kota Ende, akan terlihat jelas keberadaan Gunung Meja
dengan puncak yang hilang, seolah terpenggal dan sesuai juga dengan namanya
yang menyerupai meja yang rata dan datar. Keindahan
alam yang diselimuti mitos tampaknya telah menarik perhatian para wisatawan
lokal dan mancanegara yang telah mengakui keindahan alam di Ende ini. Pemandangan
semenajung Ende dengan panorama Gunung Iya-nya, pesisir pantai dengan kepala Gunung Meja atau Pulau Koa,
dan Bandara H. Hasan Aroeboesman dengan pemandangan Gunung Meja-nya yang mungil
dan elegan, sebagai pelindung dan ikon kota serta juga keindahan Pulau Ende
yang disebut sebagai kelewangnya Wongge.
Kisah
cinta di atas secara sosial antropologis memberikan gambaran apa arti sesungguhnya
cinta, bahwa cinta bukan sesuatu yang dipaksakan tetapi sesuatu yang harus
dihargai. Hubungan personal lawan jenis lebih diikat dalam apa yang sering
disebut chemistry atau unsur yang mengikat
untuk saling memiliki di antara dua orang, yang juga sangat tergantung dari
pembawaan diri masing-masing. Bukan sebuah pemaksaan kehendak, karena sesungguhnya
dalam hubungan lawan jenis yang dicari adalah kebahagiaan. Amarah, dendam,
kesombongan, iri hati dan rasa cemburu akan selalu ada dalam setiap manusia,
hanya diperlukan pengendalian diri, jika tidak semuanya akan berujung kepada
penyesalan. Legenda kisah percintaan tiga gunung, Gunung Meja, Wongge dan Iya
di atas setidaknya menjadi petuah bijak bagi konteks kehidupan masyarakat lokal,
bahwa harmoni kehidupan akan berjalan dengan baik jika kita saling menghargai
perbedaan dan menerima kekurangan. Walau memang hanya sebatas mitos, kisah ini membawa
pesan moral yang berarti dan menjadi pendidikan bagi anak-anak, baik sebagai
dongeng menjelang tidur, berbagi cerita dengan teman sepermainan, menjadi bahan
bacaan di sekolah atau juga bahan yang diceritakan di depan kelas. (*)
Kupang, 05
Februari 2013
©daonlontar.blogspot.com