Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS),
istilah SPPD sudah diketahui umum. Mulai dari tingkat desa hingga tingkat
kementerian
sudah memahami apa fungsi dari beberapa lembar surat SPPD tersebut. SPPD adalah singkatan dari Surat
Perintah Perjalanan Dinas, sedangkan di swasta lebih dikenal dengan SPJ atau Surat
Perjalanan Dinas. Fungsi dari SPPD ini adalah sebagai kelengkapan administrasi bahwa seseorang yang
ditugaskan telah
melaksanakan
perjalanan dinas. SPPD perlu
mendapatkan pengesahan di tempat tujuan kunjungan kerja berupa tanda tangan
pejabat dari kantor atau lembaga yang dikunjungi beserta stempel atau cap di lembaran
belakang SPPD, sebagai
bukti bahwa bersangkutan
telah sampai pada tujuan perjalanan. SPPD dengan kelengkapan lainnya seperti Surat Perintah
Tugas oleh atasan atau pimpinan instansi, tiket pergi pulang (at cost) dan Laporan Perjalanan Dinas
dijadikan sebagai Laporan Pertangunggungjawaban Perjalanan Dinas.
Berdasarkan Permenkeu No
45/PMK.02/2007 tentang Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri bagi Pejabat
Negara, Pegawai Negeri & Pegawai Tidak Tetap. Perjalanan dinas dalam negeri
yang selanjutnya di sebut
perjalanan dinas adalah perjalanan keluar tempat kedudukan baik perseorangan maupun
secara bersama-sama yang jaraknya sekurang-kurangnya 5 (lima) kilometer dari
batas kota, yang dilakukan dalam wilayah Republik Indonesia untuk kepentingan
negara atas perintah Pejabat yang berwenang, termasuk perjalanan dari tempat
kedudukan ke tempat meninggalkan Indonesia untuk bertolak ke luar negeri dan
dari tempat tiba di Indonesia dari luar negeri ke tepat yang dituju di dalam
negeri.
SPPD itu sendiri disertai dengan pendanaan
berupa lumpsum yang terdiri dari biaya
penginapan / hotel, uang makan, uang saku, transport lokal ditambah uang
representatif bagi pejabat negara dan PNS tertentu adalah suatu jumlah uang
yang telah dihitung terlebih dahulu (pre-calculated amount) dan
dibayarkan sekaligus. Sedangkan biaya transport PP dikategorikan sebagai biaya
rill (at cost) yang adalah biaya yang
dikeluarkan sesuai dengan bukti pengeluaran yang sah.
Nah menariknya SPPD ini menjadi
sorotan, karena ditenggarai sebagai tambahan penghasilan untuk
meningkatkan kesejahteraan.
Setidaknya telah diindikasikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang
merujuk pada
hasil temuan laporan keuangan di beberapa daerah
yang mana perjalanan dinas sebagai cara untuk menambah penghasilan. Sejauh perjalanan dinas itu
memberikan manfaat bagi instansi, maka hal itu dapat dimaklumi, namun ketika perjalanan
dinas untuk mendapat keuntungan pribadi maka hal itu dipastikan sebagai sebuah pelanggaran atau bahkan dikatakan
sebagai sebuah kecurangan yang merugikan keuangan daerah atau negara.
Kecurangan dalam SPPD yang sering
ditemui seperti
menerima biaya perjalanan dinas rangkap (dua kali atau lebih) untuk perjalanan
dinas yang dilakukan dalam waktu yang sama, perjalanan dinas dalam rangka
tujuan pribadi dibandingkan
memenuhi tujuan dinas, melakukan perjalanan dinas sehari pergi pulang antar kota atau antar pulau dengan hitungan
lumpsum di atas tiga hari,
demikian juga dengan SPPD fiktif atau bodong berupa SPPD yang hanya dititipkan pada orang
lain, sedangkan bersangkutan sendiri tidak menjalankan tugas. Mendapatkan SPPD adalah
sebuah kewajaran dilihat dari seberapa produktif seorang PNS, namun adakalanya
hari tugas SPPD melampaui hari kelender kerja seorang PNS, umumnya ini terjadi
pada PNS yang memiliki urusan yang super sibuk.
Namun di balik itu saya lebih memahami bahwa
SPPD adalah sebuah balas jasa terhadap PNS yang bekerja melampaui beban kerja
yang diberikan sebagai prestasi kerja bukan bagian dari pemerataan kesejahteraan semata.
Dengan mendapatkan
SPPD atas perintah dari pimpinan menjadi semacam reward, yah untuk sekedar
merenggangkan otot-otot pikiran yang lebih banyak bekerja dan juga untuk
melepaskan sejenak kejenuhan pekerjaan dan bonusnya bisa berwisata tentunya, dengan syarat dapat memenuhi
urusan dinas serta menambah
wawasan dan pengetahuan di daerah yang ditugaskan yang bisa berkonstribusi
terhadap kinerja instansi. Selebihnya
terhadap dana lumpsum yang dapat dihemat menjadi bagian dari kesejahteraan itu sendiri.
Masih soal SPPD, saya punya
pengalaman unik lainnya. Suatu ketika kami berjumlah tiga orang mengikuti kegiatan mewakili provinsi
berdasarkan undangan kementerian, pada saat bersamaan ada juga sebuah kabupaten yang mengutus hingga 12 orang untuk mengikuti
kegiatan serupa, namun
datang tidak sebagai instansi
yang diundang, sehingga menjadi suatu yang mubazir bagi daerah. Suatu waktu juga saya harus singgah ke Kementerian lain, di luar dari sebagaimana tujuan saya ditugaskan, untuk menandatangani SPPD-nya pimpinan yang telah
mengikuti kegiatan dua minggu sebelumnya yang belum sempat disahkan. Memang untuk mendapatkan tanda tangan SPPD memang
tidak mudah, apalagi tentang siapa pelaksana kegiatan dari bagian kementerian yang besar itu, apalagi
kegiatan telah dilangsungkan dua minggu yang lalu. Mereka akan memberi info yang
membingungkan, dan sejurus kemudian menawarkan jasa. Dan sepertinya sudah mafhum bahwa itu bagiannya para petugas keamanan (satpam), biarlah
mereka yang mengatur dengan balas jasa uang rokok, hal yang baru saya ketahui
kemudian, sebagai cara “mudah” mendapatkan pengesahan SPPD. Atau juga menurut cerita teman-taman dari timur
(Papua) bahwa uang SPPD dicairkan ketika
bersangkutan telah berada di bandara, bahwa bersangkutan sudah dipastikan akan berangkat, karena banyak kejadian mereka menerima dana SPPD
tetapi tidak berangkat melaksanakan
tugas. (*)
Kupang, 25 Maret 2013
©daonlontar.blogspot.com
©daonlontar.blogspot.com