Jam menunjukan pukul 7.00 wita pagi hari. Seperti biasanya masyarakat Kota Kupang memulai aktivitasnya, pergi ke pasar, tempat kerja hingga ke sekolah. Dan seperti biasa
pula masyarakat kota menggunakan sarana masing-masing menuju tempat tujuan,
jika dekat ada yang berjalan kaki, ada yang menggunakan kendaraan pribadi atau
menggunakan transportasi umum. Bagi yang menggunakan transportasi umum akan menggunakan
angkutan bemo model mikrolet tipe Pick Up dengan pintu
penumpang berada di bagian belakang kendaraan. Di tahun
70-an ongkos dalam kota jauh dekat masih
sebesar Rp. 25,-
saja dan keadaan Kota Kupang saat itu masih lengang,
tak banyak kendaraan dan suasana tidak seramai saat ini.
Sebuah kendaraan angkutan bemo mikrolet tipe Colt Pick Up bernama Ridho Galih yang merupakan salah satu
sarana transportasi umum yang femiliier digunakan warga kota, sedang menjalani
trayek pagi itu menghubungkan Terminal Kota Lama ke Oebobo hingga Oepura. Bemo
yang melaju dikendalikan oleh supir bernama Om Tinus ini, dari arah Kupang
kondisi bemo sudah sesak dengan keranjang belanjaan penumpang sehabis dari pasar, beserta beberapa penumpang lainnya yang kebanyakan adalah
anak sekolah. Kebetulan di simpang Kantor Bank Indonesia ada seorang kondektur (konjak) mikrolet lainnya ikut menumpang Bemo Ridho Galih dengan membawa satu jerigen bensin yang baru dibelinya dari Pompa Bensin Cempaka Lama. Jerigen berisi bensin ditaruh dalam kabin bemo, sementara itu tanpa diperkirakan sebelumnya, seorang
penumpang ingin membakar sebatang rokok. Namun tanpa disangka percikan korek api mengenai jerigen berisi bensin tersebut, dan akhirnya api menjalar dan membakar bemo.
Tepat di jalan depan SMP Negeri 2 Kupang, bemo Ridho Galih
kandas dan akhirnya terbakar habis. Banyak korban yang mengalami luka bakar,
barang penumpang yang bertumpuk menghalangi korban menyelamatkan diri lebih
awal. Korban yang berhasil menyelematkan diri keluar dari bemo yang terbakar,
di tolong oleh warga Kampung Baru di sekitaran lokasi kejadian. Ada yang berusaha menolong korban dengan air yang diambil dari perigi terdekat, ada juga yang mengambil lembaran daun dari pohon pisang untuk memadamkan api di tubuh korban.
Korban luka bakar diantaranya Tinnyke Nggebu, Afia Salama, Johny Abubakar, Maneke
Latuperisa, Mikael Thayeb, Hengky Malada serta
beberapa orang lainnya, dan kabarnya ada juga yang menjadi korban meninggal
dunia karena luka bakarnya. Korban diantaranya adalah Siswa SMA 173 (sekarang SMA 1 Kupang) yang sedang menuju
sekolah dan berasal dari Kampung Bonipoi dan Fontein. Sementara itu beberapa orang yang selamat karena turun dari bemo sebelum kejadian. Akibat kejadian
tersebut banyak yang harus menjalani perawatan opname di rumah sakit bahkan hingga dua bulan lamanya. Kini hampir empat dekade telah berlalu, di antara korban
yang mengalami tragedi tersebut masih ada yang memakai sarung tangan untuk
menutup bekas lukanya.
Di masa belum adanya media massa representatif dan media
sosial seperti saat ini, kejadian tersebut menjadi berita yang gempar di Kota
Kupang kala itu. Menjadi kenangan terburuk tak terlupakan bagi korban, demikian
juga bagi mereka yang mendengar informasi, datang menyaksikan dan terlebih bagi mereka yang saudara atau teman yang mengalami korban
akibat terbakarnya bemo ini. Bahkan ada yang
mengalami trauma pasca kejadian, bukan hanya bagi korban tetapi yang
menyaksikan juga mengalami trauma. Ada yang enggan
naik bemo lagi, ada juga yang melihat kobaran api sudah merasakan ketakutan. Inilah
tragedi kebakaran bemo di Kota Kupang yang paling banyak membawa korban luka bakar dan membawa kenangan bagi Bemo Ridho Galih yang pemyimpan banyak cerita bagi anak-anak sekolahan saat itu, dan
tentunya menjadi pelajaran bagi generasi sekarang, bagaimana pentingnya
keselamatan dalam berkendara umum. (*)
Foto Dokumentasi Keluarga Uly &
Sumber cerita berasal dari Timeline
FB Nicky Nicko
Kupang, 27 Oktober 2015
©daonlontar.blogspot.com