Pulau Timor (google maps)
Pulau Timor
dengan luas
sekitar 30.777 km² ini, terletak dibagian selatan nusantara. Dalam
sejarah politik pulau ini dipartisi
menjadi dua bagian selama berabad-abad akibat penjajahan. Melalui perjanjian Lisboa pada tahun
1859, Belanda
dan Portugis menjalin kesepakatan bahwa Belanda menguasai bagian barat pulau Timor dan
Portugis menguasai bagian timurnya. Sekarang Timor Barat atau dahulu
dikenal sebagai Timor Belanda
sampai 1949, telah
menjadi bagian Provinsi Nusa Tenggara Timur - Indonesia, sedangkan Timor Timur atau dahulu dikenal sebagai Timor
Portugis, sebuah
koloni Portugis sampai tahun 1975 dan sempat menjadi bagian dari Indonesia hingga tahun
1999, dan pada tahun 2002 telah menjadi negara merdeka Republik
Demokratik Timor Leste. Walau demikian
menurut legenda masyarakat di Pulau
Timor baik di bagian barat maupun timur sebagai akar sejarah budaya yang sama
sebelum kedatangan imprealisme, bahwa Pulau Timor berasal dari buaya (Crocodylidae) yang
menjelma menjadi sebuah pulau.
Deskripsi pertama tentang bentuk Pulau
Timor yang memanjang dan beberapa hal lainnya seperti keberadaan penduduk, pola
perdagangan dan kedudukan raja-raja dilakukan oleh seorang kadet kapal Victoria
yang bernama Antonio Pigaffeta, saat menyusuri pantai utara Pulau Timor dari
timur ke barat di tahun 1522, yang merupakan satu-satunya kapal yang tersisa
dari lima
kapal armada Magelhaens yang berlayar
dari Sevilla Spanyol, dengan tujuan maluku dan berhasil kembali ke Spanyol. Hal inilah
yang membuat Pulau Timor mulai di kenal dalam sejarah perdagangan masa lalu,
yang kemudian menjadi ajang rebutan antara Belanda dan Portugis, untuk
menguasai komoditas utama pulau ini, cendana.
Pulau Timor dan mitologi Pulau Buaya,
setidaknya telah muncul dalam buku seri pendidikan budaya berjudul “Cerita
Rakyat dari Timor Timur”, Karya Nyoman Suarjana, terbitan PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia (Grasindo), Jakarta tahun 1993. Terdapat sebuah cerita
tentang “Legenda Terjadinya Pulau Timor”, cerita tersebut berkisah tentang
seorang anak lelaki di Makassar yang menemukan seekor anak buaya sedang tersesat dari sarangnya dan
mengalami
kepanasan karena teriknya matahari musim kemarau saat itu. Anak buaya itu telah sekarat, karena iba iapun ditolong
oleh anak lelaki tersebut. Dibawanya anak buaya itu hingga ke tepi danau,
akhirnya anak buaya itu selamat. Lalu berkatalah sang anak buaya "mulai
saat ini kita berjanji menjadi sahabat karib. Sembarang buaya tidak boleh
mengganggumu. Bila kamu ingin bermain di air atau di laut, panggil saja 'hai sahabat, anak buaya,
balaslah budi',
saya akan segera
membawamu di punggung dan
pergi ke mana saja sesukamu.
Seandainya kamu
mau kita berangkat
sekarang juga!" ajak anak
buaya tersebut. Maka anak lelaki itupun dibawa berenang ke sana ke mari, bahkan
hingga menyelam ke dasar laut melihat keindahan bawah laut. Hal itu dilakukan
terus menerus, hingga suatu saat anak buaya itu merasa kelelahan dan jenuh karena
punggungnya selalu dinaiki anak lelaki itu, maka muncul niat untuk memangsa
anak lelaki itu. Sebelum ia melakukannya, ia meminta beberapa pendapat dari
penghuni laut lainnya seperti ikan, hingga binatang darat seperti kera,
semuanya tidak membenarkan apa yang akan dilakukan buaya, karena kebaikan tidak
boleh di balas dengan niat jahat. Buaya tersebut akhirnya merasa menyesal
karena punya niat mencelakakan sahabatnya.
Ketika anak
buaya dan sahabatnya tengah berenang di perairan Laut Timor saat ini, anak
buaya itu berkata “sahabatku yang
budiman, budi baik yang telah kamu perbuat kepadaku tak mampu kubalas. Aku
sangat malu karena berniat membunuhmu. Sekarang ajalku sudah dekat, jasadku
akan menjadi tanah. Tanah itu akan menjadi daerah yang sangat luas, Semoga
kamu, anakmu, cucumu dan semua keturunanmu dapat menikmati kekayaanku yang melimpah
sebagai balas budi yang telah kaulakukan terhadap diriku”. Setelah itu,
anak buaya itu mati, lalu jasadnya berubah sedikit demi sedikit menjadi
daratan. Punggung buaya yang runcing berubah menjadi deretan pegunungan yang
membujur dari ujung barat sampat ujung timur.
Foto buaya (http://mobile.griyawisata.com)
Namun juga ada versi lain yang
menyebutkan bahwa setelah anak itu dewasa baru bertemu kembali dengan buaya
yang kini telah bertambah besar pula. Sang buaya mengajak pemuda tersebut
menaiki punggungnya dan berenang mengarungi lautan. Hal itu dilakukan terus
menerus hingga sang pemuda berkeluarga memiliki isteri dan anak, buaya melindungi seluruh keluarga pemuda itu. Ketika
merasa akan tiba ajalnya, buaya itu meminta agar pemuda itu berserta
keluarganya, dengan
berujar bahwa ia akan mati dan jasadnya akan menjadi pulau di mana pemuda
beserta keluarganya akan tinggal
untuk selama-lamanya.
Maka menjelmalah berlahan-lahan tubuh jasad buaya itu menjadi pulau yang
kemudian dihuni oleh manusia.
Hingga kini adat leluhur masyarakat Timor menyebut buaya dengan kakek yang akan
selalu menjaga dan melindungi mereka. Selain itu ada beberapa versi cerita lainnya lagi, namun esensinya sama
bahwa seekor buaya bersahabat dengan manusia, yang akhirnya membalas budi kepada
seorang manusia karena telah ditolong sebelumnya. Cerita-cerita itu menjadi
populer bagi anak-anak baik dari buku dongeng hingga siaran radio anak-anak,
sebagai pendidikan budi pekerti bahwa kebaikan sesungguhnya akan di balas dengan kebaikan
dan bahwa kejahatan akan selalu tidak dikehendaki oleh semua pihak.
Alhasil
buaya menjadi binatang yang dikramatkan, bahkan ada cerita juga yang menyatakan
bahwa buaya tidak boleh diburu, dibunuh dan dilarang memakan dagingnya.
Orang-orang Timor menyebut bahwa buaya itu leluhur atau nenek moyang mereka.
Bila ada orang yang digigit buaya, mereka menganggap bahwa orang itu telah
melakukan kejahatan atau dikutuk leluhur atau nenek moyang mereka. Buaya
kemudian dijadikan binatang totem sebagai pengejewantahan kekuatan kosmis
dewa-dewa. Binatang totem begitu dihargai sehingga tidak boleh dilukai,
disakiti atau diburu. Konsep terhadap binantang totem ini tumbuh dari tradisi
lisan yang diwariskan turun-temurun dari leluhur dan diyakini oleh seluruh
anggota suku di Timor. Bukan hanya di Timor yang meyakini bahwa buaya adalah
asal usul nenek moyang mereka, karena seperti daerah Lembata, Flores bagian
timur juga meyakini hal tersebut. Demikian juga dengan asal cerita legenda
terjadinya Pulau Timor Karya Nyoman Suarjana seperti yang telah diceritakan di
atas, yang menyebutkan asal usul penghuni Pulau Timor berasal dari Makassar,
maka kemungkinan mitologi ini yang tumbuh dan berkembang dari Timor Timur, kala
itu memang dipengaruhi oleh Kebudayaan Gowa (Makassar) saat itu, yang juga
memiliki kisah mitologi buaya.
Kisah
pulau yang berasal dari buaya ini telah mendunia dan dibaca atau diceritakan
kepada anak-anak sebagai dongeng menjelang tidur. Mungkin karena telah membaca
kisah buaya ini dan menjadi inspirasi, seorang ilustrator asal Portimao -
Portugal, bernama Luis Peres melukiskan Timor Island - Crocodile version (2009)
untuk buku cerita anak-anak. Ilustrasi ini menguatkan julukan Pulau Timor
sebagai The Land of The Sleeping Crocodile atau negeri di mana buaya tidur
selamanya. Memang ada perdebatan yang mengatakan bahwa kepala buaya itu berada
di barat (Kupang) dan ekornya berada di timur (Lautem) atau sebaliknya, namun
hal itu, tidak mengurangi kepercayaan masyarakat Timor terhadap mitologi pulau
buaya ini
Ilustrasi Pulau Timor oleh
Luis Peres (http://www.imagekind.com)
Dalam sebuah artikel yang ditulis
Anne Lombard-Jourdan berjudul “François
Péron dan Charles Lesueur, Perburuan Buaya di Timor pada 1803” yang dimuat
dalam majalah Archipel menceritakan
kisah tentang adanya perburuan buaya di Pulau Timor. Disebutkan bahwa pada abad
ke-17, pantai
Pulau Timor banyak ditemukan buaya yang pada malam harinya banyak berkeliaran di rawa-rawa dan juga
sekitar Benteng
Concordia hingga rumah penduduk di tepi sungai, demikian juga dengan kisah
beberapa orang yang berenang dilahap buaya. Masih menurut
tulisan artikel tersebut, bahwa penduduk
Timor begitu takut dengan buaya hingga mereka memuja dan juga menganggap sebagai monster liar. Di jaman sebelumnya jika ada perselisihan antar warga,
maka untuk memutuskan
mana yang benar dan atas perintah raja, dua orang akan ditenggelamkan dalam danau
yang penuh buaya, seseorang yang selamat keluar dari danau, dialah yang benar. Saat itu para
pemburu Eropa ingin menangkap buaya, tetapi orang Timor enggan membantu, namun
para pemburu seolah
memaksakan hingga diperingatkan akan mati jika memburu buaya tanpa didampingi oleh orang Timor. Mereka
akhirnya berhasil menembak
seekor buaya di Babau (30
Kilometer dari Kupang) dan
kemudian
kerangkanya dibawa
ke Prancis untuk kepentingan penelitian. Menurut catatan, panjang buaya bisa mencapai 8,25 hingga 12 meter, karena tidak diburu dan
dibunuh maka buaya saat itu lebih besar dibandingkan buaya saat ini.
Menurut sumber di atas, panjang buaya bisa mencapai 8,25 hingga 12 meter, entah itu sebuah kebenaran atau tidak. Karena
saat ini hanya seekor
buaya raksasa dari Kepulauan Mindanao di Filipina, dengan panjang 6,17 meter dan berat
satu ton yang telah ditetapkan sebagai reptil terbesar di dunia oleh Guinness Book of World Records (2012). Sedangkan rekor dunia untuk
kategori reptil terbesar sebelumnya dipegang oleh seekor buaya yang ditangkap di wilayah Northern
Territory, Australia dekat dengan Pulau Timor pada tahun 1984, dengan panjang 5,48 meter
dan berat hampir satu
ton. Hingga saat ini masih sering ditemukan buaya di pesisir pantai di Pulau
Timor.
Dalam perkembangannya, mitologi pulau buaya ini menjadi
inspirasi kesenian bagi masyarakat di Pulau Timor ini. Sebagai binatang totem
yang disakralkan, mereka mengekpresikan buaya dalam wujud benda kebudayaan yang
menunjukkan relasi antara masyarakat Timor saat ini dengan leluhurnya. Hal ini
dapat dilihat dari adanya motif-motif gambar atau ukiran buaya pada kayu atau
tenun ikat. Seperti terlihat pada motif selimut tenun ikat yang bergambar
buaya, disamping motif kalajengking yang berasal dari Niki-Niki wilayah Timor
Tengah Selatan, Timor Barat dan motif
fauna buaya pada kerajinan kain Tais dan ukiran patung buaya yang berasal di
Timor Leste.
Tenun ikat di Timor
Barat (http://www.ikat.us)
Kerajinan buaya di Timor Leste (http://dananwahyu.wordpress.com)
Tidak hanya
buaya yang disakralkan dalam masyarakat Timor, ada juga binatang melata lainnya
yang merupakan representasi buaya yang dikramatkan yaitu cicak (Cosymbotus platyurus) dan tokek (Gekko gecko). Tabu untuk
mereka menyakiti binatang-binatang tersebut karena dianggap sebagai pembawa
kesejukan. Jika dalam sebuah percakapan keluarga, tiba-tiba terdengar cicak
yang berbunyi, maka percakapan itu akan membawa suka cita dan memberi rahmat
bahwa apa yang dikatakan akan berdampak baik. Demikian juga dengan adanya tokek
yang masuk dalam rumah, enggan masyarakat untuk mengusirnya dan membiarkannya
hidup di dalam rumah, karena dianggap dapat mendinginkan rumah (baca: memberikan kesejukan hidup). Entah
hal-hal ini masih dipegang kuat oleh masyarakat atau seiring berjalannya waktu,
mitologi inipun mulai redup secara berlahan, dengan menguatnya rasionalitas
masyarakat. Demikianlah kiranya mitologi tentang Pulau Timornya dan pengaruhnya
dalam kehidupan masyarakat di Pulau Timor. (*)
Diolah dari berbagai sumber
Kupang, 08 April 2013
©daonlontar.blogspot.com