Memang kemilau etnik di Nusa Tenggara Timur tak habis untuk dieksplorasi. Tak berselang lama Ethnic Runaway kembali ke Pulau Timor, sempat sebelumnya Ethnic Runaway dengan Episode: Fatukopa Timor Tengah Selatan tayang Maret lalu, kali ini Trans Coproration berkesempatan untuk menayangkan Ethnic Runaway, Episode: Fatukoto yang merupakan sebuah desa di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan - NTT dengan mendatangkan dua orang artis Jakarta, mereka adalah Agung Hercules dan Chacha Frederica.
Episode ini ditayangkan di Trans Tv, 22 April 2013, pukul 19.00 Wita. Tim Ethnic Runaway akan bersama-sama mengikuti segala
aktivitas keseharian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Fatukoto, dengan mengenal berbagai kebudayaan dan tradisi
lokal Suku Dawan,
yang jarang ditemukan di tempat lain. Kisah yang dipandu oleh dua artis ibu kota ini terbagi dalam beberapa scane yang dimulai
dari kedatangan mereka di Kupang, melakukan perjalanan ke Kabupaten Timor
Tengah Selatan hingga mengikuti upacara adat ritual syukur Suku Dawan.
Tayangan diawali dari kedatangan mereka di Bandara El
Tari Kupang dan kemudian dengan menumpang mobil pick up, mereka ke Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dalam perjalanan
mereka berhenti di suatu tempat, karena sang supir akan melanjutkan perjalanan
ke arah yang berlainan. Agung dan Chacha dengan seorang crew singgah di permandian Air Terjun Oehala, oe’ berarti air dan hala
berarti tempat tidur, yang kemudian diartikan sebagai air tempat tidur, begitulah kira-kira argumen Agung.
Dalam perjalanan menuju Desa Fatukoto, mereka sempat bertemu dengan seorang pengembala dengan crew lainnya yang sedang memainkan felu bijuel alat musik tradisional serupa seruling yang dimainkan saat mengembalakan ternak. Selanjutnya sebelum memasuki Desa Fatukoto, mereka disambut dengan tarian natoni yaitu tarian untuk menyambut atau melepas tamu kehormatan, kebiasaan ini memang telah mengakar di kebudayaan Suku Dawan.
Dalam perjalanan menuju Desa Fatukoto, mereka sempat bertemu dengan seorang pengembala dengan crew lainnya yang sedang memainkan felu bijuel alat musik tradisional serupa seruling yang dimainkan saat mengembalakan ternak. Selanjutnya sebelum memasuki Desa Fatukoto, mereka disambut dengan tarian natoni yaitu tarian untuk menyambut atau melepas tamu kehormatan, kebiasaan ini memang telah mengakar di kebudayaan Suku Dawan.
Kebinggungan adalah awal yang mereka temukan saat berinteraksi
dengan masyarakat Suku Dawan, namun secara berlahan mereka mulai memahami
bahasa adat suku tersebut. Para tamu dikalungkan selendang (tais), setelah itu mereka diajak ke sebuah bangunan adat suku (lopo) untuk upacara penyambutan
selanjutnya yaitu mempersembahkan sirih pinang sebagai lambang persahabatan.
Agung dan Chacha belajar bagaimana mengunyah sirih pinang dengan payah, setelah
itu mereka diberikan pakaian khas Suku Dawan yaitu kain tais. Menariknya bagi Agung untuk mengatakan memakai pakaian
adat Suku Dawan oleh tamu adalah untuk “keseimbangan
dan keselarasan”.
Panggilan untuk orang tua angkat di Desa Fatukoto
adalah Ama dan Ena, sedang nama adat yang diberikan kepada Agung Hercules adalah Kaunan dan Chacha Frederica adalah Molo. Mereka diperkenalkan dengan rumah
adat Suku Dawan yaitu ume bubuk yang berbentuk bulat, bentuk rumah yang bulat
diartikan bahwa orang Suku Dawan harus selalu bersatu, sedangkan bentuk pintu
yang rendah dimaksudkan agar semua orang Suku Dawan harus saling menghormati.
Kegiatan selanjutnya adalah menangkap ikan di danau atau lebih tepatnya kubangan air. Cara menangkap ikan di kubangan air bagi Suku Dawan adalah unik, yaitu dengan cara mengobok-obok air kubangan hingga ikan menjadi mabok dan lemas sehingga mudah ditangkap, kebiasaan ini dinamakan hek ika. Secara perlahan mereka sedikit demi sedikit mulai memahami bahasa Suku Dawan seperti membakar ikan, bakar dalam bahasa Dawan “tunu”.
Kegiatan selanjutnya adalah menangkap ikan di danau atau lebih tepatnya kubangan air. Cara menangkap ikan di kubangan air bagi Suku Dawan adalah unik, yaitu dengan cara mengobok-obok air kubangan hingga ikan menjadi mabok dan lemas sehingga mudah ditangkap, kebiasaan ini dinamakan hek ika. Secara perlahan mereka sedikit demi sedikit mulai memahami bahasa Suku Dawan seperti membakar ikan, bakar dalam bahasa Dawan “tunu”.
Pada malam harinya Molo diperkenalkan bagaimana
membuat serat kapas menjadi benang dan kemudian bisa dipintal menjadi kain.
Disinilah momen Kaunan yang berbadan besar laksana Hercules sangat takut dengan
kecoak, bahkan ia berkoar lebih berani menghadapi 14 singa dibandingkan dengan
satu kecoak.
Pagi harinya Kaunan dengan bangga mempersembahkan lagu
andalannya “Astuti” kepada masyarakat Dawan hingga terbawa kebiasaannya
menenteng barbell sambil berolah raga
senam di bawah matahari pagi. Setelah itu Ama mengajak Kaunan untuk mencari
kacang hutan di hamparan sabana Timor. Kacang yang dimaksud dinamakan kot laos yaitu kacang-kacangan sejenis
buncis tetapi memiliki racun yang bisa membuat mabuk sehingga harus direbus
sebanyak 12 kali untuk menghilangkan efek racunnya. Molo sempat bergurau untuk
mengetesnya pada kucing yang ada dibelakangnya terlebih dahulu, sebelum dimakan
oleh Kaunan. Kacang yang sudah bisa dikonsumsi dinamakan kot pesi.
Siangnya Kaunan mencoba permainan adu kuat tangan atau
manaan nimaik yaitu permainan adu
kekuatan bagi laki-laki dewasa suku Dawan. Kaunan mencobanya dengan melawan dua
orang dan berhasil menghempaskan mereka, namun ketika melawan tiga orang kaunan
akhirnya berlaku curang. Kaunan dan Molo juga diperkenalkan dengan alat musik
petik tradisional yaitu bejul (gitar
tradisional), kemudian menari secara bersama dan seolah mengingatkan semua Suku
Dawan dimanapun berada, akan nostalgia tarian-tarian kebersamaan Suku Dawan. Satu
waktu Molo diajak untuk mandi di sungai dan diperkenalkan dengan shampo
tradisonal yaitu berupa akar-akaran yang diperas untuk diambil getahnya dan
dijadikan semacam shampo yang dinamakan nombe
sa.
Sebagai penutup perjalanan Ethnic Runaway mereka
ditugaskan untuk mengikuti upacara syukur hasil panen. Kaunan ditugaskan
membawa jagung dan Molo membawa hasil sayur mayur. Upacara adat ini dinamakan onem sukur yaitu ritual setahun panen
yang ditandai dengan memotong hewan persembahan yaitu ayam. Kabarnya ada batu
kramat di tempat pelaksanaan upacara, bagi siapa yang memindahkan akan
mendapatkan bala. Upacara adat diakhiri dengan makan bersama hasil panen seperti
ubi kayu, jagung katemak dan labu lilin. Di sini ada adat fansoe yaitu tradisi untuk mengusap hasil panen ke wajah, tak pelak
Kaunan dan Molo mendapatkan jatahnya diolesi ubi jalar (ubi kuning) dirambut
dan wajah.
Beberapa scene
dari tayangan ini memperlihatkan alam lestari di Timor Tengah Selatan, seakan
menampakan kehidupan yang asri yang sulit ditemukan di perkotaan yang penuh
dengan hiruk pikuk dan polusi, tentu akan menjadi kenangan bagi warga ibu kota
seperti Agung/Kaunan dan Chacha/Molo jika telah kembali ke rutinas mereka di
ibu kota Jakarta. Disinilah mereka belajar tentang berbagai macam adat yang
mencerminkan kearifan lokal yang jauh dari kehidupan modernisme. Indonesia itu
kaya!
Demikianlah kisah perjalanan Ethnic Runaway, Episode: Fatukoto di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, dalam upaya terus menggali kekayaan budaya di negeri Flobamorata. (*)
Demikianlah kisah perjalanan Ethnic Runaway, Episode: Fatukoto di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, dalam upaya terus menggali kekayaan budaya di negeri Flobamorata. (*)
Photo
sources: bastel & elghyzel photografi
Kupang, 23 April 2013
©daonlontar.blogspot.com
©daonlontar.blogspot.com