Minggu, 05 Februari 2012

Problem Kota

Pemahaman tentang kota, tentu dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Kota dengan aneka kompleksitasnya dapat dikaji berdasarkan pendekatan sosial, ekonomi, budaya, politik, administrasi, sejarah, geografis, demografi dan masih banyak lagi. Secara sederhana kota dapat diartikan sebagai kumpulan aktivitas manusia dalam batas teritorial tertentu. Peran kota begitu sangat penting bagi kehidupan manusia, kota telah menjadi parameter untuk mengukur kemajuan peradaban. Sejak kota kuno yang pernah didirikan oleh manusia seperti Kota Athena di Yunani, yang selalu hidup dengan aktivitas para filsup sampai pada kota modern yang selalu diisi dengan aktivitas perdagangan oleh pebisnis, atau kota abad pertengahan yang selalu dikelilingi tembok tinggi sebagai benteng kota, hingga kota modern yang terbuka dengan bermacam-macam aktivitas global.

Kota adalah bukti dari sejarah yang telah mencampuradukkan etnik dan bangsa melalui perang, penaklukan, penemuan daerah baru, migrasi, perbudakan, perburuan barang tambang, perdagangan, pelarian politik, dan lain-lain. Walhasil tak ada kota di dunia ini yang masih bersifat homogen, kota semakin heterogen, baik dalam hal budaya, etnis, agama dan lain-lain. Tercatat ada empat kota yang berpredikat sebagai kota global yaitu, New York City, London, Paris dan Tokyo. Kota global tersebut, setidaknya memiliki imigran kurang lebih berasal dari 180 negara di dunia. Dari kota yang heterogen tersebut akan mengarah pada konsep negara multinasional. Namun anehnya, seluruh kota di dunia diikat oleh satu kesatuan dalam perdagangan, keuangan, perbankan, budaya pop, olah raga, mobilitas barang, jasa dan manusia hingga sindikat kejahatan. Ini disebabkan oleh kemampuan ideologi kapitalisme yang telah mampu melebarkan sayap ke seluruh dunia, mungkin pijakannya ada dikeempat kota global tersebut. Di samping itu kapitalisme pula yang telah mendorong terbentuknya kota-kota metropolitan.

Globalisasi membawa kota-kota metropolitan menjadi rujukan utama dalam berbagai aspek kehidupan manusia di kota-kota seluruh dunia. Untuk beberapa negara, ibu kota merupakan pintu masuk bagi segala perubahan sosial ekonomi dan budaya dunia, yang selanjutnya bertransfromasi dan mempengaruhi kota-kota lain di negara tersebut. Gejolak yang terjadi adalah sikap latah dalam menerjemahkan perubahan tanpa mempertimbangkan aspek lokal.

Secara demografi kota dibagi menjadi kota kecil (< 100.000 penduduk), kota sedang (100.000-500.000 penduduk), kota besar (500.000-1.000.000 penduduk), kota metropolitan (>1.000.000) sampai pada kota megapolitan (>10.000.000). Karena adanya pertumbuhan penduduk yang memperbanyak aglomerasi kota-kota di dunia maka, kota kecil lambat laun akan berkembang menjadi kota sedang, lalu menjadi kota besar dan seterusnya, selain itu tercipta pula kota-kota kecil yang baru. Saat ini terdapat kurang lebih 24 kota di dunia yang berstatus megapolitan. Sementara pertumbuhan populasi manusia dunia saat ini yang mencapai 7 milyar orang, tentu akan membutuhkan ruang hidup yang semakin luas, mengingat 70 persen dari populasi manusia kelak akan berada di kota-kota.

Kota merupakan sisi prestisius bagi kehidupan manusia modern di bumi ini. Kota seringkali dibedakan berdasarkan luasnya kota, jumlah penduduk, kepadatan kota, emisi gas yang dihasilkan, dan kemampuan daya beli penduduk. Di samping itu lembaga Economist Intelegence Unit (EIU), melakukan survey mutakhir tahunan tentang biaya hidup dengan membandingkan harga-harga dan jasa dalam dolar di 128 kota di dunia. Penelitian ini membuktikan bahwa, peningkatan pertumbuhan ekonomi akan mendorong naiknya biaya hidup di banyak kota terutama kota-kota di Asia.

photo: http://www.asianweek.com/
Perkembangan kota saat ini telah mengubah struktur geografis permukaan bumi, yang mana di beberapa kota jarang terlihat pepohonan, yang ada hanyalah susunan beton bangunan dan jalan beraspal, ini dapat dilihat melalui pencitraan satelit. Selain itu, gemerlapnya cahaya kota-kota di dunia pada malam hari dapat terlihat dengan sempurna dari foto antariksa Nasa. Hampir seluruh daratan Amerika Serikat, Eropa dan sebagian Asia dominan bercahaya dibandingkan dengan yang lainnya.

Sampai di sini kehebatan kota, namun di balik pesonanya, ternyata berbagai masalah muncul, diantaranya adalah dalam aspek demografi, yaitu natalitas (kelahiran), mortalitas (kematian) dan migrasi (urbanisasi). Natalitas dan mortalitas kian meningkat di kota-kota besar, namun prosentase natalitas lebih tinggi dari mortalitas, sehingga peningkatan jumlah penduduk yang membutuhkan ruang hidup semakin meningkat. Adanya migrasi atau urbanisasi mengakibatkan kota semakin membengkak, karena adanya ketertarikan orang untuk pergi ke kota. Kota sebagai pusat aktivitas manusia seperti pendidikan, pekerjaan, hiburan, dan lain-lain, yang membuat kota ibarat magnet. Perlu untuk diingat adalah semakin besar suatu kota dengan jumlah penduduknya, maka kompleksitas permasalahan yang dihadapi akan semakin besar pula.

photo: http://farm5.staticflickr.com/4054/4387582220_c76e20f5d1_b.jpg

Sebagaimana kota sebagai pusat aktivitas manusia, maka akan terjadi konsumsi massal bermacam-macam kebutuhan, sampai pada produksi massal berupa sampah dan polusi. Peningkatan konsumsi listrik perkotaan, membuktikan bahwa kota sebagai penyerap energi dunia. Kota juga telah menjadi pusat kaum marginal yang tersisih dari pertarungan kepentingan, terjadinya pengganguran dan banyak tenaga kerja yang bekerja di luar kompetensinya. Selain itu terbentuknya permukiman kumuh serta ketidakpastian kehidupan kota yang kian mempengaruhi masalah angka kriminalitas yang cukup tinggi.

Dari sisi politik, kota dijadikan sebagai ajang pertarungan kepentingan. Akumulasi kapital yang terpusat di kota, menjadi daya tarik bagi kekuasaan apapun untuk memperebutkannya. Konsep pembangunan kota sebagai eksistensi ekonomi politik, diarahkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan pemerataan pendapatan, dan akibatnya kesenjangan antara kaum miskin kota dengan kalangan ekonomi mapan semakin lebar. Benturan konflik dan ketidakpastian tak dapat dielakkan, di samping konflik pertumbuhan ekonomi dengan distribusi pendapatan, adapun konflik lain seperti pembangunan prasarana dengan pelestarian lingkungan, sektor formal dengan sektor informal, budaya tradisional dengan budaya modern, kebijakan dan regulasi dengan harapan dan kepentingan masyarakat, dan sebagainya. Maka yang terjadi adalah penderitaan kaum lemah yang kalah dan mengalami marginalitas ekonomi, sosial dan budaya.

Arus urbanisasi yang begitu deras, mengakibatkan ketidakmampuan kota untuk menampung penduduk pendatang. Ketersediaan listrik, air bersih, drainase, sanitasi lingkungan, jalan, permukiman, lapangan kerja akan menjadi rebutan dan konsekuensinya beberapa pihak akan dikorbankan. Ditambah lagi dengan ketidaksiapan kaum pendatang dalam menghadapi biaya hidup yang tinggi, adaptasi kehidupan kota serta skill dan pengetahuan yang minim. Sependapat dengan apa yang pernah ditulis Roman Rollnick dalam artikelnya di Habitat Debate, “cities are home to broken dream”. Permasalahan perkotaan bilamana tidak ditangani dengan baik, malalui penataan kota secara sistematis dengan orientasi jangka panjang yang lebih mempertimbangkan unsur keadilan, maka kota akan mendapatkan akumulasi masalah yang lebih besar berupa bunuh diri kota (urban suicide), jika hal ini terjadi pada kota (urban), akan berdampak pada daerah sekitarnya (suburban), hingga pelosok desa (rural). 

Desa akan menjadi korban bilamana struktur kota goyah. Ketergantungan desa (periferi) terhadap kota (sentrum) yang selama ini menjadi bumerang bagi masyarakat desa, karena pemahaman orang desa yang menganggap kota sebagai tempat menggantungkan nasib. Tetapi sebaliknya, bahwa kotalah yang sangat tergantung dengan keberadaan kota disekitarnya (kota satelit) dan terutama desa. Hal ini dilihat dari sistem kota yang heterotrof atau tidak dapat hidup sendiri, karena membutuhkan daerah disekitarnya, terutama desa sebagai pemasok energi kebutuhan kota mulai dari pemasok udara kota, buruh kerja, bahan pangan, lahan industri, daerah pemasaran, daerah resapan, tempat pembuangan sampah, hingga eksploitasi anak-anak dan wanita. Satu hal yang sangat merugikan desa adalah kota selalu menyerap SDM potensial dari daerah atau desa.

Sebaliknya desa (rural) memiliki sistem autotrof, karena memiliki kamampuan atau daya untuk menghidupi diri sendiri, memiliki lahan pekerjaan agraris, pemenuhan kebutuhan yang cukup, tempat tinggal yang memadai, kehidupan yang asri dan lain-lain. Tapi yang terjadi adalah masyarakat desa terdesak dan melakukan urbanisasi ke kota. Masyarakat desa yang mayoritas petani sebagai aktivitas turun-temurun, meninggalkan pekerjaannya, lalu bergerak ke kota dengan hasrat dan alasan kehidupan yang lebih baik, walaupun dengan hidup berdesakan di kota. Sebaliknya masyarakat kota bosan dengan hiruk pikuk kota, dan berniat untuk keluar dari kejenuhan kota dengan membangun tempat tinggal semacam vila di perdesaan yang saat ini lagi marak dilakukan, serta membeli sejumlah tanah untuk dijadikan lahan investasi. Masyarakat desa menjual tanahnya kepada pembeli dari kota dan akhirnya menjalani kerasnya hidup di kota, lahan pertanian tergusur oleh industrialisasi, sehingga yang terjadi masyarakat desa mengalami kemiskinan (poverty) dan mengarah ke kemelaratan (destitute). Urbanisasi itu sendiri mempengaruhi ruang hidup dan makin menjauhkan manusia dari alam.

Pemerintahan kota kemudian mencoba mengendalikan kota dengan berbagai regulasi mengenai kebijakan politik, sosial dan ekonomi perkotaan. Perencanaan kota selama ini justru memperbesar konflik yang mengarah pada kriminalitas, kerusuhan, kemacetan, dan gelandangan. Hal ini disebabkan adanya kerja sama pemilik modal dengan birokrasi kota yang keputusannya, kadang berpengaruh besar pada tata ruang kota yang lebih mengguntungkan segelintir orang dan merugikan mayoritas masyarakat warga kota. Misalkan pembangunan pusat-pusat bisnis, perumahan mewah, hotel berbintang, lapangan golf, tol, area parkir yang mengambil ruang publik, daerah resapan, kawasan hijau, taman, serta melakukan penggusuran pada pusat-pusat kegiatan ekonomi masyarakat kecil.

photo: http://www.matthias-jeschke.com/

Walhasil kota akan semakin menambah masyarakat yang mengalami ketimpangan ekonomi, terlihat dari pertumbuhan perkampungan miskin kumuh (slum area). Pertumbuhan slum area ini biasa terjadi pada negara-negara terbelakang yang bisa mencapai 20-50% pemukiman kumuh. Tentu urbanisasi tidak dapat dicegah selama kota-kota sekunder (suburban) dan desa (rural) tidak diberdayakan. Yang dibutuhkan saat ini adalah peran pemerintah dalam manajemen perkotaan yang lebih baik dan adil dengan memperhatikan desa sebagai pendukung kehidupan kota.

Kemajuan kota-kota metropolitan di dunia, sebagai simbol peradaban dunia, perlu diwaspadai mengingat bahaya akan selalu mengancam. Kekuatiran ini coba ditegaskan oleh Majelis Umum PBB, dengan membentuk United Nation Human Settlements Programme atau UN-HABITAT, yang bertujuan untuk membantu negara-negara dan masyarakatnya untuk mengatasi masalah perkotaan, melalui peningkatan kinerja kebijakan dan tindakan dalam sektor perumahan dan pemukiman. Sejak tahun 1985, Majelis Umum PBB menetapkan setiap senin pertama Bulan Oktober sebagai peringatan Hari Habitat Sedunia. Hari tersebut untuk merefleksikan keadaan nyata perumahan dan pemukiman yang ada beserta hak dasar untuk memperoleh hunian yang layak. Jauh sebelum PBB menaruh perhatian besar pada masalah kehidupan perkotaan, pada tahun 1913, telah terbentuk pula Asosiasi Pemerintahan Daerah atau Kota secara internasional. Terbentuknya kerja sama internasional ini, yang telah melibatkan kota-kota di negara berkembang, memberikan upaya kerja sama antar kota dalam menyelesaikan permasalahan perkotaan yang dihadapi. Tentu penyelesaian permasalahan di suatu kota mungkin tidak sesuai bagi kota lainnya, namun banyak permasalahan yang bisa dicari jalan keluar bersama, seperti penanganan migrasi (urbanisasi), transportasi massal, tata ruang kota, penghematan energi, pencemaran udara, sanitasi dan lain-lain.

Apa yang diharapkan dari berbagai usaha di atas adalah bagaimana menciptakan lingkungan kota yang berwawasan kehidupan dengan memperkuat daerah sekitar terutama pedesaan, mengingat sifat kota yang heterotrof dan sangat tergantung dengan keberadaan desa. Dalam upaya tersebut, dikotomi antara desa dan kota dapat dihilangkan, sehingga ketimpangan perkotaan dan pedesaan tidak menjadi permasalahan lagi, melalui pembangunan kota-kota sekunder dan desa. Kehidupan yang lebih baik, bukan lagi berada di kota, tetapi didesapun sudah bisa didapatkan. Sebagaimana adegium “ada gula ada semut”, maka semut tidak perlu lagi mengerubuti satu toples gula, tapi gula perlu disebar ke mana-mana, agar semut mencarinya.

diproduksi kembali dari tulisan yang pernah dimuat Timor Express
edisi Rabu, 23 Mei 2007 dengan pengeditan seperlunya oleh penulis

comments

Catatan....!!!

Menulis bukan bakat, tetapi kemauan. Dalam kisah setiap orang pasti akan menuliskan apa ada yang ada di pikiran dan perasaannya.. Secara perlahan menulis mengantarkan seseorang menuju pencerahan, karena menulis membuat orang membaca dan sebaliknya membaca membuat orang menulis. Menulis merupakan pembelajaran, dan tidak hanya sekumpulan kalimat tetapi merupakan sekumpulan nilai dan makna. Kini cara menulis tidak lagi menggunakan pahat dan batu, tongkat dan pasir atau dengan kemajuan teknologi tidak lagi dengan tinta dan kertas tetapi sudah beranjak pada keyboard dan screen. Banyak kisah dan sejarah masa lalu yang tidak terungkap, karena tak ada yang mencatatnya atau bahkan lupa untuk mencatatnya. Mengutip kalimat singkat milik Pramoedya Anantatoer, “hidup ini singkat, kita fana, maka aku akan selalu mencatatnya! Agar kelak abadi di kemudian hari…” Catatan adalah sebuah kesaksian dan kadang juga menjadi sebuah pembelaan diri. Seseorang pernah memberiku sebuah diary, dengan sebuah catatan yang terselip. Kelak aku akan mengembalikannya dalam keadaan kosong karena aku telah mencatatnya di sini….!!!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
;