Rabu, 17 Oktober 2012

Naik Hajinya Orang Bugis Perantauan di Kupang




Di musim haji setiap tahunnya menjadi agenda rutin bagi orang Bugis perantauan di jazirah Timor untuk mengantarkan sanak keluarga calon jemaah haji hingga ke Bandara Eltari Kupang. Orang Bugis yang tersebar diberbagai kecamatan dan kabupaten berduyun-duyun dalam rombongan datang ke Kota Kupang untuk mengantarkan kerabat calon jemaah haji untuk dilepas keberangkatannya ke Embarkasi Juanda Surabaya dan kemudian menuju Jeddah Arab Saudi. Saat itu Bandara Eltari akan diramaikan dengan para pengantar calon jemaah haji atau kunjungan keluarga untuk memberi salam dan selamat, tak jarang di bandara menjadi ajang Rendezvous bagi handai taulan dan keluarga bugis perantauan se jaziarah Timor.

Mengantar para keluarga calon jemaah haji bagi orang Bugis adalah berkah, hal ini sepertinya telah menjadi semacam budaya. Bagi yang belum haji, dengan seringnya mengantar calon jemaah haji maka setidaknya akan mendapatkan berkah bahwa kelak ia juga dapat menunaikan ibadah haji, demikian juga bagi yang sudah berhaji, mengantar merupakan sebuah keharusan setidaknya dalam upaya memberikan bimbingan dan dukungan bagi sanak keluarga yang akan segera menunaikan ibadah haji. 

Dilihat dari sisi lain mengantar calon jemaah haji adalah sebuah warisan turun temurun di tanah Bugis hingga kemudian dilakukan juga di tanah rantau, melalui perkembangan diaspora Suku Bugis. Maklum melepas kepergian jemaah haji adalah hal yang memilukan di masa lalu, karena begitu beratnya beban untuk menunaikan haji. Selain harus ada jaminan hidup bagi keluarga yang ditinggalkan, calon haji juga perlu didukung oleh kesehatan, daya tahan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai cobaaan. Mulai dari menempuh perjalanan laut yang lamanya hingga 3-6 bulan (di masa kakek nenek saya mereka menempuh perjalanan selama 3 bulan), bandingkan dengan perjalanan udara saat ini yang hanya menempuh  8-10 jam saja. Jadi bisa dibayangkan waktu perjalanan yang panjang dengan kondisi hidup di atas kapal berbulan-bulan yang tentunya dapat mempengaruhi kesehatan, belum lagi cobaan dalam menunaikan ibadah haji itu sendiri, sehingga tak jarang para jemaah haji wafat tidak sempat pulang kembali ke tanah airnya. Dengan demikian melepas kepergian calon jemaah haji adalah sebuah keniscayaan. 

Hal ini mengingatkan kenangan akan beberapa dekade yang silam, rombongan keluarga pengantar calon haji akan tinggal untuk beberapa hari di rumah orang tua saya, maklum kami sekeluarga masih menempati rumah yang cukup luas untuk menampung pengantar jemaah yang adalah keluarga dekat kami dari pihak ibu. Perkiraan saya ada lima puluhan orang yang tinggal di rumah saya dengan suasana seperti tempat penampungan pengungsi. Teras depan yang luas, begitupun ruang tamu, ruang tengah, kamar tidur hingga dapur yang luas. Tapi itu cerita di masa lalu, tidak demikian saat ini, yang mana rumah kami telah mengecil. Demikian juga saat penjemputan jemaah haji, namun jumlah yang menjemput tidak sebanyak dengan jumlah yang mengantarkan. Saya juga masih mengingat oleh-oleh yang dibawa berupa cerek berwarna emas (cere’ cella) dari yang mini hingga jumbo, termos antik, maskara (celak) dengan tempatnya yang unik, kerudung (bowong), karpet permadani turki (ambla) atau mainan khas seperti weker adzan, binoculars dengan film negatifnya dan lain-lain, namun yang paling berkesan adalah minuman air zam-zam dalam jerigen khusus.


Photo: http://www.jurnalhajiumroh.com

Sekarang bagaimana kedudukan haji dalam masyarakat Bugis perantauan?. Bahwa menjadi haji adalah simbol religius dan simbol strata sosial ekonomi bagi orang Bugis, gelar haji telah menjadi ukuran pencapaian keberhasilan hidup dan kesempurnaan dalam beragama. Dalam ranah ekonomi, tidak ada haji yang miskin dan begitupun tidak ada orang kaya yang tidak haji. Selain itu menjadi haji akan menempati strata sosial tersendiri terutamanya pada kegiatan-kegiatan seremonial kemasyarakatan, khususnya bagi Bugis perantau maka mereka akan sangat dihargai di tanah asalnya, tanah kelahirannya (tana ogi). Sehingga menunaikan Ibadah haji menjadi prioritas bagi bugis perantauan. Berbeda dengan beberapa suku muslim lainnya yang kadang lebih memprioritaskan untuk menjadi pamong praja atau menjadi pegawai pemerintahan untuk meningkatkan status sosialnya. 

Namun naik hajinya orang Bugis perantauan kadang terjebak pada aspek-aspek simbolik yang penuh makna, sebagai bagian dari transformasi kedudukan dalam masyarakat Bugis, ditandai dengan penggunaan gelar dan atribut haji lainnya. Ada songkok putih haji dan kerudung hajjah sebagai pakaian haji yang harus digunakan pada acara-acara publik, jika tidak menggunakan maka dianggap melecehkan status kehajiannya. Sebaliknya akan ada celaan sosial bagi orang yang belum naik haji menggunakan pakaian haji. Dengan demikian kehajian terakulturasi ke dalam budaya baik di negeri sendiri dan di tanah perantauan untuk memberi simbol status bagi seseorang. Karena menjadi haji merupakan sebuah kehormatan dan kehormatan itu disimbolkan dengan gelar dan pakaian haji. 

Perubahan kedudukan seorang haji dapat dilihat dari penyebutan orang tua seperti, “ajikku” yang berarti orang tua saya yang haji, demikian juga dengan penyebutan, “aji urane” sebagai panggilan untuk orang tua laki-laki dan “aji makkunrai” untuk orang tua perempuan. Dalam ranah sosial seorang haji atau hajjah akan mendapat kedudukan istimewa dalam masyarakat atau mereka ditinggikan dalam hubungan kekeluargaan. Dalam hal perkawinan misalnya, mereka terlibat dalam proses penentuan dan penetapan uang mahar bagi mempelai perempuan, demikian juga kedudukan mereka sebagai pengundang dan penyambut tamu undangan pesta perkawinan. Satu hal lagi yang menarik bahwa seorang calon pengantin perempuan yang sudah bergelar hajjah, memiliki uang mahar atau uang panaiknya, akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan yang belum berhaji.

Photo: http://sulsel.kemenag.go.id

Aspek lain juga perlu disinggung adalah panggilan yang ditujukan kepada seorang yang telah berhaji harus menyebut lengkap dengan gelar hajinya. Begitupun pada penulisan nama undangan, jika hal ini terabaikan, maka akan mengakibatkan kerenggangan hubungan sosial. Karena nama dengan gelar haji adalah sebuah konsekuensi dari simbol-simbol sosial yang diyakini orang Bugis. Di samping itu karena begitu sakralnya kedudukan haji sehingga hampir selalu undangan dari keluarga Bugis, selalu yang turut mengundang adalah para haji dari mempelai laki-laki maupun mempelai perempuan. Suatu kali ayah saya menjadi salah seorang yang turut mengundang, nama ayah terletak paling akhir dan tidak bergelar haji, namun setidaknya nama ayah saya dimulai dengan huruf H. Beruntung hal ini hanya terjadi di tanah rantau, tapi bilamana di tanah Bugis hal ini bisa saja dicemooh karena dianggap sebagai bagian keppang (pincang), karena ada yang tidak bergelar haji. (Almarhum ayah saya tidak sempat menunaikan ibadah, hanya ibu saya yang telah berhaji; masyarakat bugis dalam hal tertentu lebih mengutamakan perempuan untuk lebih dahulu menunaikan ibadah haji!)

Terlepas dari kehajian yang terjebak pada aspek-aspek simbolis dalam kehidupan sosial, gelar dan pakaian haji. Menjadi haji atau hajjah bagi masyarakat Bugis perantauan merupakan pelembagaan simbol kesuksesan hidup di tanah rantau dalam konteks keduniaan dan sekaligus sebagai simbol kesempurnaan menjalankan syariat agama dalam konteks kehidupan akhirat. Walau bagaimanapun semua tergantung pada niatnya! (*)

Kupang, 17 Oktober 2012
©daonlontar.blogspot.com



comments

Catatan....!!!

Menulis bukan bakat, tetapi kemauan. Dalam kisah setiap orang pasti akan menuliskan apa ada yang ada di pikiran dan perasaannya.. Secara perlahan menulis mengantarkan seseorang menuju pencerahan, karena menulis membuat orang membaca dan sebaliknya membaca membuat orang menulis. Menulis merupakan pembelajaran, dan tidak hanya sekumpulan kalimat tetapi merupakan sekumpulan nilai dan makna. Kini cara menulis tidak lagi menggunakan pahat dan batu, tongkat dan pasir atau dengan kemajuan teknologi tidak lagi dengan tinta dan kertas tetapi sudah beranjak pada keyboard dan screen. Banyak kisah dan sejarah masa lalu yang tidak terungkap, karena tak ada yang mencatatnya atau bahkan lupa untuk mencatatnya. Mengutip kalimat singkat milik Pramoedya Anantatoer, “hidup ini singkat, kita fana, maka aku akan selalu mencatatnya! Agar kelak abadi di kemudian hari…” Catatan adalah sebuah kesaksian dan kadang juga menjadi sebuah pembelaan diri. Seseorang pernah memberiku sebuah diary, dengan sebuah catatan yang terselip. Kelak aku akan mengembalikannya dalam keadaan kosong karena aku telah mencatatnya di sini….!!!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
;