Melihat foto ini cukup menarik perhatian saya, bukan hanya sebuah potret klasik dari awal abad ke-20, namun lebih dari itu karena tampak seorang perempuan paru baya dengan wajah anggun khas aristrokrat Eropa sedang menggunakan balutan gaun tenun motif khas Pulau Sabu. Ia juga memakai perhiasan seperti tusuk konde (pena bola), kalung perak dan memegang kotak perhiasan atau mungkin adalah sebuah kotak pekinangan (wadah siri pinang) yang terbuat dari kuningan, disertai dengan dekorasi meja dari kain tenun yang terdapat semacam tempat kolekte diatasnya. Sama halnya dengan di Timor, di tanah Jawa orang Eropa dan Indo banyak menyerap unsur kebudayaan lokal dan melahirkan kultur Indisch, sebagai hibrida antara budaya Eropa (Belanda) dan berbagai budaya lokal, seperti terlihat pada perempuan Eropa yang sering menggunakan kebaya putih dengan kain corak batik. Tentu sebuah akulturasi kebudayaan antara barat dan timur.
Sebagai dampak dibukanya Terusan Suez tahun 1870, maka berbondong-bondonglah kaum hawa Eropa datang ke Hindia Belanda, datang pelesiran atau juga menetap menemani suaminya yang berdinas di tanah koloni. Mereka yang datang dari Eropa terutama perempuan tentu akan berdecak kagum dengan hasil kebudayaan di negeri timur, negeri yang oleh dunia barat dijadikan rebutan sebagai tanah koloni atau tanah jajahan. Awalnya mereka memakai pakaian khas perempuan Eropa namun akhirnya menyesuaikan dengan pakaian untuk iklim tropis di wilayah Hindia Belanda termasuk Timor.
Sebagai dampak dibukanya Terusan Suez tahun 1870, maka berbondong-bondonglah kaum hawa Eropa datang ke Hindia Belanda, datang pelesiran atau juga menetap menemani suaminya yang berdinas di tanah koloni. Mereka yang datang dari Eropa terutama perempuan tentu akan berdecak kagum dengan hasil kebudayaan di negeri timur, negeri yang oleh dunia barat dijadikan rebutan sebagai tanah koloni atau tanah jajahan. Awalnya mereka memakai pakaian khas perempuan Eropa namun akhirnya menyesuaikan dengan pakaian untuk iklim tropis di wilayah Hindia Belanda termasuk Timor.
Cerita lain datang dari seorang nyonya Belanda, kira-kira tahun 1770-an di Kupang terdapat seorang perempuan janda dari opperhoofd Willem Adriaan Van Este yang berkuasa 1767 hingga 1770, ia seringkali disebut dalam tulisan-tulisan musafir Eropa yang datang berkunjung Ke Timor. Tentunya ia menjadi socialita saat itu karena merupakan mantan isteri dari seorang petinggi VOC dan mungkin saja paras dari nyonya ini masih cantik dan mencuri perhatian para musafir. Ia juga terbilang ramah dan sering menjamu tamu jauh yang datang dari Eropa, salah satunya dengan memberi sugguhan permainan musik dari band miliknya. Namun penggalan cerita para musafir yang dicatat tak menjelaskan lebih jauh tentang nyonya Belanda ini, yang menjadi perbincangan saat itu. Bagaimana kehidupannya sepeninggal suaminya, bagaimana dengan budak-budak peninggalan suaminya, dimana ia tinggal, bagaimana dengan keturunan dan keluarganya dan dimanakah ia dimakamkan, tentunya masih menjadi misteri (?).
Itu hanya sedikit kisah dari seorang mevrouw Belanda di Kupang pada abad 18, masih banyak kisah yang belum terungkap bagaimana kehidupan para mevrouw termasuk para kaum indo Belanda di abad 19, dan terutama di abad ke-20 saat mereka tergopoh-gopoh harus mengungsi ke Australia kala angkatan perang Jepang mengurita hingga ke Timor saat pecah PD II. Bagaimana juga ketika mereka kembali ke Timor, dan untuk beberapa dekade kemudian dengan diberlakukannya undang-undang kewarganegaraan (UU 62/1958), yang memaksa orang-orang Belanda dan keturunannya harus memilih kewarganegaraan, bila ingin menetap mereka harus melalui proses naturalisasi dan jika ingin tetap sebagai orang Belanda mereka harus meninggalkan Indonesia. Pada masa tersebut banyak orang-orang keturunan Belanda yang pergi meninggalkan Indonesia. Mereka sempat mewarnai akulturasi kebudayaan di negeri kita, dan ada baiknya mereka dikenal.
Kupang, 01 Desember 2011
©daonlontar.blogspot.com